Teguh Dartanto,
MAHASISWA DOKTORAL UNIVERSITAS NAGOYA, JEPANG
batamtimes.co-Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 64 tahun yang lalu, namun sebagian rakyat Indonesia belum benar-benar merdeka dari kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Indonesia pada 2008 (15,42 persen) menurun sekitar 2 persen dibanding persentase pada 1996 (17,47 persen). Jika dilihat dari jumlah absolut, jumlah penduduk miskin meningkat dari 34,01 juta (1996) menjadi 34,96 juta (2008) (Badan Pusat Statistik, 2008).
Presiden sudah berganti empat kali sejak Soeharto lengser dan setiap pemerintahan mengaku sudah berusaha keras mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dengan mengalokasikan triliunan rupiah untuk membiayai berbagai program kemiskinan, namun angka kemiskinan tidak menurun secara berarti. Selama kurun waktu 2006-2008, pemerintah SBY telah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp 142 triliun untuk pos bantuan sosial yang digunakan untuk program-program pengentasan masyarakat miskin.
Ratusan triliun rupiah dan berbagai macam program seolah-olah tidak efektif mengentaskan masyarakat miskin. Melihat kondisi ini, tentu ada sesuatu yang salah dari sisi kebijakan atau bahkan paradigma pengentasan masyarakat miskin itu sendiri yang salah. Terdapat dua paradigma yang perlu diluruskan dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Pertama, pemerintah selama ini memandang kemiskinan hanyalah angka-angka statistik bisu yang harus diturunkan persentasenya dari tahun ke tahun sebagai salah satu indikator kesuksesan dalam menjalankan roda pemerintahan. Konsekuensi dari paradigma ini, pemerintah berusaha keras menurunkan angka kemiskinan secara instan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hal ini dilakukan dengan jalan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan populis, seragam, dan mengabaikan kearifan lokal yang bertujuan mengurangi angka kemiskinan sekaligus menarik simpati masyarakat. Kebijakan ini hanya akan menurunkan kemiskinan secara semu, di mana ketika program-program pemerintah berhenti, kelompok miskin akan kembali menjadi miskin.
Sudah seharusnya kemiskinan tidak hanya dipandang sebatas angka, melainkan sebagai entitas yang hidup dan berkembang menurut dimensi ruang dan waktu. Kemiskinan yang bersifat hidup dan berkembang dalam dimensi waktu mengharuskan pemerintah memutus lingkaran hidup/rantai kemiskinan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang kaya mati meninggalkan kekayaan dan pendidikan bagi anak-anaknya, sedangkan orang miskin mati mewariskan kemiskinan dan kebodohan bagi anak-anaknya.
Keluarga miskin tidak mampu memberikan asupan gizi dan fasilitas pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya. Kombinasi kekurangan gizi dan pendidikan yang rendah akan menghasilkan generasi kurang berkualitas, serta tenaga kerja tidak produktif, bergaji rendah, dan tidak kompetitif. Karena itu, anak dari keluarga miskin akan terjebak dalam kemiskinan kembali. Di sisi lain, anak dari keluarga kaya memperoleh asupan gizi, fasilitas pendidikan, jaringan, dan akses pengetahuan yang prima. Kombinasi berbagai hal tersebut, serta tambahan warisan dalam jumlah besar, menjadikan anak-anak dari keluarga kaya generasi berkualitas, bergaji tinggi, dan kompetitif, sehingga mereka sulit jatuh dalam jurang kemiskinan. Karena itu, untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan memutus lingkaran kemiskinan, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan “Robin Hood”: mengambil sedikit kesenangan/harta dari kelompok kaya melalui pajak barang warisan (selain BPHTB), dan hasilnya digunakan untuk mendukung kegiatan pendidikan dan perbaikan gizi bagi kelompok miskin.
Paradigma kedua yang perlu diluruskan adalah, paradigma pengentasan masyarakat miskin dengan memberikan ”ikan” atau ”kail”. Sudah selayaknya perdebatan kebijakan memberikan ikan atau kail diberhentikan karena keduanya bersifat saling melengkapi. Kebijakan memberikan “ikan”, seperti BLT, yang akan sangat menolong golongan tidak produktif, misalnya kelompok lanjut usia, perlu diteruskan. Sedangkan kebijakan memberikan “kail”, seperti kredit usaha dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sangat cocok bagi kelompok usia produktif. Paradigma pengentasan masyarakat miskin seharusnya tidak hanya memberikan ”ikan” dan/atau ”kail”, tetapi harus ditambah dengan paradigma “pencipta”, di mana kelompok miskin dibekali pengetahuan agar bisa membuat kail untuk mencari ikan sendiri. Kebijakan ini bersifat jangka panjang dan hanya bisa dilakukan dengan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan yang hasilnya baru terasa 15-20 tahun mendatang. Alokasi 20 persen APBN seharusnya tidak hanya digunakan untuk pendidikan formal, tetapi digunakan juga untuk program makanan tambahan/gizi bagi anak-anak usia SD melalui program makan siang di sekolah.
Kebijakan ala Robin Hood tidaklah menguntungkan secara politik, sedangkan investasi di sektor pendidikan/kesehatan hasilnya tidak bisa dilihat secara instan selama lima tahun berkuasa. Karena itu, pemerintah akan setengah hati untuk menjalankan dua kebijakan di atas. Tetapi, tanpa keberanian dan kebijakan radikal, mungkin kita akan dijajah oleh kemiskinan selamanya.(*)