batamtimes.co-Presiden Joko Widodo menegaskan, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) tidak akan dibubarkan, justru statusnya akan ditingkatkan dari yang kini di bawah Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) menjadi di bawah pemerintah pusat.
“Kita akan terus kembangkan Batam supaya lebih mampu bersaing. Kita juga akan mendengar masukan dari Panitia Kerja (Panja) Free Trade Zone (FTZ) Komisi VI DPR,” kata Presiden Jokowi.
Jokowi mengatakan, selama ini BP Batam telah berhasil menggenjot investasi. “Mengapa menjadi di bawah pemerintah pusat, supaya larinya lebih kencang,” kata Presiden Jokowi, yang didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung
Keberadaan BP Batam dibawah kendali pemerintah pusat mendapat dukungan dari DPR RI.Komisi VI DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) Kawasan Perdagangan dan Pelabuhaan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) bahkan siap membantu pemerintah untuk meyelesaikan konflik dualisme perizinan di Batam.
Wakil Ketua Komisi VI DPR, Muhammad Farid Al Fauzi menyatakan, mengambil alih BP Batam di bawah kendali pemerintah pusat, bukan sekadar pada posisi BP Batam saja. Hal yang tak kalah penting adalah memaksimalkan peran BP Batam jika kelak berada di bawah kendali pusat.
“Kami akan membahas masalah ini dan mencari formula agar manfaat keberadaan BP Batam bisa maksimal bagi bangsa,” katanya di Jakarta, Senin (7/3/2016).
Politikus Partai Hanura itu menambahkan, selama ini memang ada yang janggal dengan posisi BP Batam. Sebab, institusi yang sebelumnya bernama Otorita Batam itu di bawah kendali gubernur Kepulauan Riau. Padahal, anggarannya langsung dari pusat.
“Ini kan tidak sinkron. Anggaran disahkan pusat, tapi posisi di bawah gubernur. Yang harus diingat, ini kawasan khusus yang ditentukan oleh pusat, bukan oleh pemerintah daerah,” tegasnya.
Sedangkan anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sartono Hutomo menyatakan, selama ini investor yang mau masuk Batam memang dibuat bingung. Sebab, di satu sisi ada BP Batam, tapi di sisi lain juga ada pemerintah kota dan provinsi.
Sartono menyebut hal itu membuat investor merasa tak nyaman. “Ini fakta, maka harus dicarikan solusinya,” ujarnya.
Sedangkan kolega Sarton di Fraksi PD dan Komisi VI DPR, Melani L Suharli mengatakan, Batam memang harus lebih siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Menurutnya, fungsi BP Batam harus dimaksimalkan ketika sudah berada di bawah kendali pusat.
“Kesimpulan kami, untuk menghadapi MEA maka BP Batam harus di bawah pusat,” ujar mantan wakil ketua MPR itu.
Sementara anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahreta (FPKS) di Komisi VI DPR, Refrizal mengatakan, keberadaan BP Batam tak terlepas dari visi BJ Habibie untuk mengembangkan salah satu pulau di Kepulauan Riau itu agar bisa menyaingi Singapura.
Pernyataan senada juga dikatakan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Internasional Batam, Suyono Saputro, Selasa (5/1), di Batam.Menurutnya batam belum layak jika dibandingkan dengan Negara Singapura dan Johor Malaysia.
“Tidak adil membandingkan Batam dengan Singapura dan Iskandar Development Region di Johor Bahru. Singapura dikelola setingkat negara. Iskandar juga oleh perwakilan pemerintah federal Malaysia. Kenapa (pengelola) Batam malah mau dijadikan setingkat daerah?” katanya
Pembubaran BP Batam, menurut Suyono, bukan menyelesaikan masalah. Bahkan, ada potensi timbul berbagai masalah jika wacana yang dilontarkan Tjahjo itu jadi diwujudkan.Lebih baik BP Batam dikuatkan sebagai lembaga pusat dan dikendalikan Presiden. “Alasan paling pokok, Singapura dan Iskandar punya berbagai fasilitas yang hanya mungkin diberikan oleh pemerintah pusat. Batam akan bisa menyaingi Singapura, seperti yang diinginkan Presiden, jika punya hal serupa. Pemerintah provinsi tidak punya kewenangan untuk memberikan aneka fasilitas itu,” paparnya.
Alasan lain, pembubaran BP Batam akan menimbulkan ketidakpastian baru. Padahal, salah satu alasan pembubaran adalah menghilangkan ketidakpastian berusaha. “Ada ribuan dokumen terkait dengan investasi harus dialihkan ke lembaga baru kalau BP Batam bubar. Bagaimana pemerintah menjamin proses itu lancar?” ujarnya.
Ia mengakui selama ini Batam memang tidak berkembang. Padahal, Batam mendapat banyak fasilitas. “Pemerintah pusat ikut andil dengan perkembangan sekarang. Ribuan hektar lahan di Pulau Rempang dan Pulau Galang tidak bisa dimanfaatkan karena Mendagri menetapkan kedua pulau dalam status quo. Padahal, Batam kesulitan lahan untuk menampung investor baru. Ada banyak peraturan buatan pusat yang saling bertentangan,” katanya.
Pemerintah juga tidak kunjung membangun pelabuhan layak untuk Batam. Pelabuhan terbesar di Batam hanya berkapasitas 600.000 TEU per tahun. Sebaliknya, Singapura bisa menangani 35 juta TEU dan Johor mencapai 15 juta TEU. “Bagaimana mungkin daerah industri bisa berkembang kalau tidak punya pelabuhan layak? Membangun pelabuhan butuh dana tidak sedikit dan daerah tidak punya kemampuan untuk itu,” tuturnya.
Sementara Direktur Promosi Investasi BP Batam Purnomo Andi Antono mengatakan, sebagian perizinan memang selesai di BP Batam. Namun, sebagian lagi masih harus diurus di instansi-instansi pemerintah pusat dan harus diurus di Jakarta. “Beberapa pihak menyarankan kewenangan-kewenangan itu dilimpahkan ke Batam. Berdasarkan pengalaman, BP Batam siap melaksanakan. Akan tetapi, kami tidak tahu kenapa tidak mendapat pelimpahan,” tuturnya.
Andi juga mengungkapkan, beberapa hari terakhir para pengusaha di Batam bingung. Karena itu, BP Batam akan segera mengumpulkan pengusaha dan menyampaikan penjelasan. “Hal yang harus dipahami, sampai sekarang belum ada keputusan resmi tentang status Batam dan BP Batam. Dahulu, status ditetapkan dengan undang-undang dan PP. Jika harus ada pergantian, maka harus diterbitkan peraturan pengganti yang setara. Ucapan sebagian pihak tidak bisa dijadikan acuan,”.
Fungsi Dewan Kawasan Harus Dimaksimalkan
Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Muhammad Sani menegaskan, polemik alih status Kota Batam yang belum menemukan titik terang hingga hari ini tidak boleh merembet terhadap kerja-kerja yang lain. Termasuk juga Dewan Kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam-Bintan-Karimun.
“Semua Dewan Kawasan masih harus berjalan seperti biasa,” tegas Sani, di Tanjungpinang, kemarin.
Sebab bila sampai kerja-kerja Dewan Kawasan mandek, Provinsi Kepri sendiri yang merugi. Pasalnya, Dewan Kawasan punya kerja yang bersentuhan langsung dengan penanaman-penanaman modal asing maupun dalam negeri di daerahnya masing-masing. “Namanya juga investor kalau mau investasi pasti pilih-pilih tempat. Tidak sembarangan,” ucap gubernur 73 tahun ini.
Mengingat hal tersebut, Sani melihat memang Dewan Kawasan tetap mesti bekerja sebagaimana biasa dan tidak ikut terganggu oleh polemik status Kota Batam dengan Badang Pengusahaannya yang kini hendak diambilalih pemerintah pusat. “BP Batam kan jalan sendiri. Sementara Dewan Kawasan itu juga punya regulasi sendiri,” jelasnya.
Soal alih kendali BP Batam, Sani menerangkan, Senin (7/3), ini bakal kembali dilangsungkan rapat mengenai wacana pusat mengambilalih kendali BP Batam. “Sebenarnya diagendakan Jumat kemarin, tapi ditunda. Nanti akan dilihat langsung seperti apa pembahasannya,” ucapnya.
Sani juga masih enggan bicara lebih banyak mengenai nasib BP Batam ke depannya. Sehingga pada pertemuan hari ini, ia mengharapkan bisa ditemukan hasil untuk membangun Kota Batam lebih baik. “Bagaimana pun, yang kita semua inginkan, polemik ini tidak berkepanjangan dan lekas menemukan solusi terbaik,” ujar Sani.(br/BP/)