batamtimes.co , Surakarta –Siapa sangka jika kopi yang ditanam di sebagian besar perkebunan kopi dunia, termasuk di negara-negara produsen kopi dunia seperti Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Kepulauan Karibia, termasuk Meksiko, benihnya berasal dari Pulau Jawa?
“Pada 1726, kopi Jawa (Java coffee) menggeser dominasi kopi Mocha di Pasar Eropa. Pada tahun itu, sekitar 90 persen kopi (2.145 ton) yang dilelang di Amsterdam berasal dari Pulau Jawa,” kata Prawoto Indarto, penulis buku The Road to Java Coffee, saat ditemui Tempo di sela acara Jagongan Ngopi Neng Solo di Pasar Gede, Kota Surakarta, pada Sabtu malam, 30 September 2016.
Perjalanan sejarah kopi Jawa bermula sejak 1618. Mengutip data dari Coffee & Cacao Trade Journal (1964:29), Prawoto menuliskan dalam bukunya bahwa pada tahun itu maskapai dagang Belanda (Dutch East Indies Company) mendapat izin dari kekaisaran Ottoman di Turki untuk membuka cabang di Kota Aden dan Mocha.
Mocha adalah kota pelabuhan di Yaman. Seperti diketahui, dalam kurun pertengahan abad 15-16, kopi hanya berkembang di wilayah Jazirah Arab. Dengan membuka kantor cabang di Mocha, Prawoto mengatakan Belanda punya peluang jadi eksportir kopi ke Eropa dan Asia.
“Untuk mematahkan sistem perdagangan kopi yang dimonopoli pedagang Arab, Belanda membuat wilayah perkebunan kopi baru di luar Mocha,” kata Prawoto, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang menghabiskan waktu tiga tahun (2010-2013) untuk menelusuri dan merangkai sejarah kopi Jawa yang terserak dalam puluhan jurnal dan buku dari dalam dan luar negeri.
Singkat cerita, Prawoto berujar, pada 1696, Wali Kota Amsterdam Nicholas Witsen memerintahkan pasukan VOC mengambil benih Coffea arabica dari Pantai Malabar, India, untuk ditanam di Jawa. Benih kopi itu ditanam di wilayah Kampung Melayu, Bifara Cina (Bidaracina), Maester Cornelis (Jatinegara), Palmerah, Sukabumi, dan Sudimara.
Menurut hasil analisis para ahli botani di Amsterdam pada 1706, kopi dari Jawa berkualitas tinggi. Sehingga benih kopi Jawa diperbanyak dan disebarkan ke kebun-kebun botani di Eropa, termasuk kepada Raja Perancis Louis XIV. Melalui Kebun Raya Royal Jardine de Plantes di Paris, benih kopi Jawa dibawa ke Martinique, koloni Prancis di Kepulauan Karibia.
“Dari Martinique, benih kopi Jawa menyebar lagi menjadi benih awal Coffea arabica yang ditanam di sebagian perkebunan kopi di negara-negara produsen kopi dunia,” ujar Prawoto. Lelaki kelahiran Kota Yogyakarta yang juga telah menulis sejumlah buku tentang teh itu menambahkan, pada 1711, kopi Jawa memecahkan harga tertinggi di Balai Lelang Amsterdam.
Penanggung jawab acara Jagongan Ngopi Neng Solo, Katariksa D. Putra, mengatakan kehadiran Prawoto Indarto dalam peringatan hari kopi internasional di Pasar Gede diharapkan dapat menyuntikkan semangat kepada masyarakat Jawa, terutama para pegiat kopi, untuk melestarikan kopi Jawa dengan berbagai cara.
“Kopi Jawa itu sejarahnya luar biasa, tapi sekarang kurang populer. Makanya perlu dikuatkan lagi pamornya,” kata salah satu pendiri komunitas Kopisolo.com itu. Selain membedah buku The Road To Java Coffee karya Prawoto Indarto, Jagongan Ngopi Neng Solo dimeriahkan pembagian 3.000 cangkir kopi gratis asal Jawa Timur, Tengah, dan Jawa Barat (Tempo/red)