Indonesia Masuk Daftar 20 Negara Tingkat Konsumsi Ikan Hiu Tertinggi di Dunia.

0
2117
Proses produksi Sirip Hiu sumber : WWF Indonesia

batamtimes.co , Jakarta – Sup sirip hiu merupakan salah makanan yang wajib ada di perayaan Tahun Baru Tionghoa atau Imlek. Berawal dari kepercayaan yang dipegang teguh sejak zaman nenek moyang, bahwa sup sirip hiu merupakan simbol dari kekayaan dan kemakmuran. Namun fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya, bahkan mengenaskan.

Menurut data dari WWF Indonesia, setiap tahunnya ada sekitar 100 juta hiu yang diburu dan mati karena diambil siripnya. Indonesia sendiri ternyata telah masuk ke dalam daftar 20 negara dengan tingkat konsumsi ikan hiu tertinggi di dunia.

Inilah yang kemudian membuat WWF Indonesia membuat acara bertajuk Diskusi Terbuka Menghilang Hiu dari Menu dengan kampanye #ImlekBebasHiu di Soehana Hall, The Energy Building, Rabu (25/1/2017). Dalam acara ini ditekankan bahwa hiu bukanlah hewan yang bisa dijadikan makanan karena beberapa alasan.

Sebagai predator tertinggi di laut, hiu memiliki tingkat racun yang tinggi, sehingga tidak layak untuk menjadi konsumsi. Selain itu, mengingat caranya diproduksi dan banyaknya permintaan, sup sirip hiu dapat menjadi salah satu alasan terbesar dari kepunahan ikan hiu di dunia.

Di daerah Jakarta sendiri ternyata masih ada restoran di sebuah hotel ternama yang menyediakan menu sup sirip hiu dengan harga yang mencengangkan. Ya, sup sirip hiu bisa ditemukan dari harga ratusan hingga puluhan juta rupiah.

“Belum ada aturan yang mengharuskan kita untuk berhenti menjual dari pemerintah, maka selama ada konsumen yang meminta, kita akan tetap menyajikan. Selama ini baru ada himbauan,” papar salah satu pegawai dari restoran tersebut yang ikut hadir di acara Diskusi Terbuka.

Namun, beberapa hotel kenamaan lain di Jakarta, seperti Sharing-La, Grand Melia, dan Santika mengaku sudah tidak lagi menyediakan menu makanan yang berbahan ikan hiu sejak mendapatkan himbauan dari pemerintah.

“Sebenarnya Sharing-La sudah berhenti menjual makanan berbahan ikan hiu sejak 2010 dan kami tidak menggantinya dengan menu lainnya, karena keberlanjutan makhluk hidup dan lingkungan hidup menjadi fokus dari hotel kami,” papar perwakilan dari hotel Sharing-La.

Tidak hanya hotel, namun Bandar Jakarta pun berhenti menjual sup sirip hiu sejak mendapatkan himbauan dari Menteri Kelautan.

“Ya, Bandar Jakarta juga langsung berhenti menjual sup sirip hiu sejak owner kami mendapatkan himbauan langsung dari Menteri Kelautan. Kami ada 5 owner dan salah satunya merupakan pecinta lingkungan hidup. Sekarang kami mengganti menu sup sirip hiu dengan lobster Alaska, namun karena sekarang lobster Alaska juga sudah mulai langka, kami hanya menyajikannya 2 kali dalam seminggu,” jelas Juli, pegawai Bandar Jakarta.

Perwakilan Pemprov DKI Jakarta pun tak kalah ambil suara menjelaskan mengapa sampai saat ini belum ada aturan yang jelas mengenai perlindungan ikan hiu dan larangan untuk menjadikannya sebagai bahan makanan di Indonesia.

“Ada berapa banyak sih orang yang makan sup sirip hiu di Jakarta sendiri? Berapa restoran yang menjual menu ini? Untuk membuat sebuah aturan, kita perlu melihat dari tingkat kepentingannya dan payung hukum di atasnya. Kalau dari teman-teman di sini bisa membantu kami untuk melengkapi data yang telah ada dan menyatakan bahwa memang populasi hiu di Indonesia sudah hampir punah, ayo kita sama-sama berjuang di legislatif,” papar salah satu perwakilan Pemprov DKI Jakarta.

Sedangkan Shinta, perwakilan WWF Indonesia menyatakan hal yang sebaliknya, yaitu jika membuat sebuah regulasi dasarnya hanya data dan jumlah, maka regulasi tersebut tidak akan pernah berhasil dibentuk.

“Kalo melihat masalah ini dari segi bisnis, pasti khawatir di penghasilan. Yang lebih saya tekankan di sini adalah mindset yang menganggap bahwa dengan makan sup sirip hiu adalah sebuah prestige, simbol kekayaan seseorang. Ini dulu yang harus diubah, mulai dari diri sendiri, hal yang kecil dan sederhana, baru kita bisa beralih ke hal-hal yang lebih besar,” papar Shinta.

William Wongso, pakar kuliner Indonesia yang juga turut hadir di acara ini juga menambahkan poin mengenai pentingnya menjaga alam untuk generasi yang akan datang.

“Harus ada gerakan yang jelas. Sebenarnya chef memiliki wewenang untuk menolak melakukan sesuatu, seperti tidak ingin memasak makanan berbahan hiu, dan owner tidak boleh memaksa,” jelas William di akhir cara Diskusi Terbuka Menghilangkan Hiu dari Menu.(red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here