Sambutan Hari Pers Nasional, Ketua Umum IWO Jodhi Yudono

0
863

Oleh : Jodhi Yudono

Ketum IWO Pusat

Batamtimes. co, Datang ke bekas kediaman tokoh pers Indonesia, Jamaludin Adinegoro, saya merasa seperti diingatkan, betapa dunia pers kita tidak maju ke depan, tapi malah seperti sedang berlari mundur. Spirit Adinegoro sebagai seorang wartawan yang juga intelektual dan kritis terhadap ketimpangan sosial, serta senantiasa menjaga obyektivitas, sudah melemah getarannya. Sebab rupanya, pers sudah tak berdaya oleh tekanan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan sipil maupun negara.

Hari Pers Nasional kali ini, yang dilengkapi dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke tanah kelahiran Adinegoro, saya kira menjadi isyarat bagi insan pers Indonesia untuk kembali ke rumah etik kita dengan menjunjung independensi dan mewartawakan kabar yang benar.

Apabila isyarat ini tidak kita sikapi, saya kira kita akan gagal menghadapi ujian sosial yang ditandai dengan berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah pada 2018; Pemilihan Umum, hingga Pemilihan Presiden di tahun 2019.

Jika kuta tak lulus dalam ujian ini, maka bisa kita tebak seperti apa wajah bangsa kita di masa mendatang.

Pers yang seharusnya berada di tengah sebagai medium yang adil, akhirnya terseret dalam pertempuran kepentingan.

Mendengar cerita dari keluarga Adinegoro di Sawahlunto, tahulah saya kini, betapa tokoh pers kita itu adalah gudang ilmu yang selalu ditimba oleh saudara sepupunya yang namanya lebih dikenal secara nasional.

Ya, saban tiga hari sekali, sang sepupu yang kita kebal sebagai Prof. mohamad Yamin SH itu datang menyerap ilmu kepada Adinegoro yang kutu buku dan banyak pengalaman. Konon, keterangan-keterangan pers sampai pidato-pidato Yamin, sebagian adalah hasil diskusi dengan Adinegoro.

Begitulah, betapa “kaya” Adinegoro sebagai seorang wartawan, sebab dia melengkapi dirinya dengan pengetahuan yang didapat dari membaca.

Salah satu warisan Adinegoro untuk dunia pers kita adalah buku berjudul “Melawat ke Barat”, sebuah memoar perjalanan saat beliau menuntut ilmu jurnalistik ke Jerman.

Dari buku tersebut kita bisa tahu tentang sosok Adinegoro. Bahwa hanya ada dua hal pokok yang beliau kerjakan dari waktu ke waktu. Adalah membaca dan menulis. Membaca telah membuat Adinegoro kaya dalam kata, logika, dan pengetahuan. Menulis telah membuat Adinegoro lebih bermanfaat karena telah berbagi kepada sesama.

Dan saya kira, kita semua, anggota IWO di mana pun berada, bisa mewariskan pengalaman kita sebagai wartawan ke dalam karya buku. Bagi saya, menulis berita hanya untuk memperpanjang asap dapur kita. Tapi menulis buku, adalah upaya kita untuk memperpanjang kenangan orang atas prestasi kita, bahkan hingga kelak kita telah tiada.

Wassalam

Sawahlunto, 8 Februari 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here