Oleh : Rival Achmad Labbaika Alhasni
Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online (AJO) Indonesia
Jakarta – Masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali lebaran, pertama adalah saat IdulFitri 1 Syawal dan kemudian setelah puasa Syawal masyarakat jawa akan merayakan lebaran ketupat yang biasanya dilaksanakan pada 8 Syawal.
waktu puasa Syawal ini lebih utama bila dilaksanakan sehari setelah Hari Raya IdulFitri. Namun tidak apa-apa bila dilaksanakan di hari lain asalkan masih di bulan Syawal. Menyegerakan waktu puasa Syawal di hari kedua bulan Syawal menunjukkan i’tikad baik dalam bersegera untuk melakukan kebaikan.
Dengan berjalannya waktu, lebaran ketupat kini dirayakan di berbagai daerah, budaya lebaran ketupat pertama kali dikenalkan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga menggunakan dua istilah, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran adalah perayaan IdulFitri yang diisi dengan shalat Id dan silaturahim.
Sementara Bakda Kupat dilakukan tujuh hari setelahnya. Dimana masyarakat kembali membuat ketupat untuk diantarkan kepada sanak kerabat sebagai bentuk silahturahmi dan menjaga kekerabatan.
Tradisi ini juga tetap lestari di komunitas Muslim Jawa di berbagai daerah termasuk di Sulawesi Utara.
Perayaan Lebaran Ketupat banyak dilakukan di kabupaten dan kota yang memiliki mayoritas muslim, misalnya Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kota Manado.
Di Kabupaten Minahasa, terdapat satu perkampungan yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, yang dikenal sebagai Kampung Jawa Tondano, leluhur dari masyarakat Kampung Jawa Tondano tersebut memang berasal dari Pulau Jawa.
Tradisi di Tondano ini berawal dari ditangkapnya Kyai Modjo yang merupakan Penasehat Agama sekaligus Panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830).
Pada 1828, Kyia Modjo kemudian dibawa ke Batavia (Jakarta). Selanjutnya Kyai Modjo yang merupakan tangan kanan Pangeran Diponegoro beserta 63 orang pengikutnya diasingkan oleh Belanda sebagai tahanan politik ke Pulau Celebes (Sulawesi Utara). Kyai Modjo beserta 63 orang pengikutnya ditempatkan di Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulut.
Oleh penduduk setempat dan sekitarnya, daerah ini kemudian dikenal dengan sebutan “Kampung Jawa Tondano” yang mana penduduknya merupakan keturunan dari Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya serta mayoritas beragama Islam.
Banyak budaya Jawa yang kemudian disadur ke dalam Islam yang justru bemula dari Kampung Jawa Tondano ini, seperti Lebaran Ketupat yang tak lain sebagai bentuk silahturahim antar sesama pemeluk agama Islam dan penduduk sekitar yang nonmuslim.
Baca Juga Presiden Jokowi Cek Arus Mudik di Stasiun Senen
Provinsi Sulut memiliki penduduk yang memeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Karena Sulut terkenal dengan daerah toleran, maka setiap kegiatan hari besar agama, semua saling bertemu dan menyapa satu sama lain dan memberikan ucapan selamat.
Kegiatan silaturahim tersebut kebanyakan, dirangkaikan dengan berbagai kegiatan, seperti makan bersama, pentas seni dan budaya hingga rekreasi bagi kalangan generasi muda.
Tak hanya di Kampung Jawa Tondano budaya dan tradisi lebaran ketupat ini pun dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Bolaang Mongondow, di Kampung Motoboi Besar, juga di Kota Manado.
Seminggu setelah IdulFitri Ribuan umat muslim di beberapa kelurahan di Kota Manado tumpah ruah di jalanan merayakan Lebaran Ketupat, dengan saling mengunjungi dan saling memaafkan.
Setiap umat muslim yang merayakan Lebaran ketupat menyediakan menu khas berupa ketupat yang disajikan kepada setiap tamu yang datang berkunjung.
Uniknya, dalam Lebaran ketupat di beberapa kelurahan yang ada di Kota Manado,setiap warga muslim membuka pintu rumah mereka bagi siapa saja yang datang berkunjung, seperti yang terlihat di Kecamatan Tuminting dan Kecamatan Singkil. di Kelurahan Mahawu, Ketangbaru dan Sea.
Sebagai salah satu dari sembilan wali (walisongo) Sunan Kalijaga, dalam dakwah, nya memiliki pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang.
Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sunan Kalijaga dikenal sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap mengikuti sambil memengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu pun Bakda Kupat.
Menyikapi panasnya suhu politik pasca pilpres 2019, mungkin tak ada salahnya jika para petinggi partai politik diantara kedua koalisi baik BPN maupun TKN, Capres-Cawapres baik 01 dan Capres Cawapres 02 bisa melakukan hal yang sama, guna kembali merajut silahturahmi mempererat ukhuwah islamiyah, dan menyatukan bangsa.
Percayalah jika semua mau kembali kepada tradisi bangsa yang telah dibangun oleh para leluhur terutama para Wali. Ketupat akan mampu mempererat dan menyatukan perbedaan.[Celebestopnews.com]