Oleh: Rival Achmad Labbaika Alhasni.
Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online (AJO) Indonesia
Jakarta – Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan setiap tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia, berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.
Keputusan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 itu menyebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Dewan Pers kemudian menetapkan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibu kota provinsi se-Indonesia.
Penyelenggaraannya dilaksanakan secara bersama antara komponen pers, masyarakat, dan pemerintah khususnya pemerintah daerah yang menjadi tempat penyelenggaraan. Landasan ideal HPN ialah sinergi. Sinergi antara komponen pers, masyarakat dan pemerintah.
*Sejarah Berdirinya PWI dan SPS*
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia.
PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta yang kemudian oleh Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 PWI beranggotakan wartawan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam mempersiapkan pendiriannya, PWI membentuk sebuah panitia persiapan pada tanggal 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta. Pertemuan itu dihadiri oleh beragam wartawan, dan tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah.
Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan;
1. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.
2. Disetujui membentuk sebuah komisi yang beranggotakan:
1. Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta),
2. B.M. Diah (Harian Merdeka, Jakarta).
3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta).
4. Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto).
5. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya).
6. Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang).
7. Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang)
8. Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta).
Delapan orang komisi yang telah dibentuk tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang sebagai Ketua dan Sudarjo Tjokrosisworo sebagai Sekretaris, merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional.
Tiga minggu kemudian Komisi yang beranggotakan 10 orang tersebut dinamakan yang juga dinamakan “Panitia Usaha”, mengadakan pertemuan kembali di Surakarta Februari 1946. Guna membahas masalah pers yang dihadapi.
Dari pertemuan itu lah kemudian disepakati didirikannya Serikat Penerbitan Suratkabar (SPS) dalam rangka mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar yang pendirinya juga merupakan pendiri PWI.
Serikat Penerbitan Suratkabar (SPS) 8 Juni 1946 berdiri di Jogjakarta.Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi ideologi dan komersialnya, mengingat saat itu masih ada pers asing yang beredar dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.
Kemudian bertepatan dengan hari jadi SPS yang ke-65 Serikat Penerbit Suratkabar mengganti namanya menjadi Serikat Perusahaan Pers.
Perubahan nama ini terjadi dalam Kongres XXXIII di Bali pada 7-9 Juni 2010.
Tidak hanya mengganti nama, SPS juga melakukan perubahan logo dan mentransformasi dirinya SPS menyatakan tidak hanya sebagai organisasi penerbit media cetak seperti suratkabar, tabloid, dan majalah, tetapi juga menjadi organisasi yang mewadahi para penerbit perusahaan pers.
Setelah mengubah namanya menjadi Serikat Perusahaan Pers, SPS memperluas cakupannya tidak hanya di media cetak tetapi juga merambah ke media non cetak (media siber dan penyiaran) Perubahan ini dilatarbelakangi oleh dinamika yang terjadi pada bisnis industri media secara global.
Karena waktu pendiriannya yang berdekatan dan memiliki latar belakang sejarah yang serupa, PWI dan SPS diibaratkan sebagai “kembar siam” dalam dunia Pers.
*Sejarah Berdirinya Dewan Pers, Runtuhnya Rezim Orde Baru Berdirinya AJI dan IJTI Hingga AJO Indonesia*
Dewan Pers terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Kedudukan dan fungsi dari Dewan Pers pada saat itu adalah sebagai pendamping dan penasehat Pemerintah yang secara bersama-sama membina perkembangan juga pertumbuhan pers nasional.
Secara struktural Dewan Pers memiliki hubungan dengan Departemen Penerangan oleh karenanya saat itu, Menteri Penerangan Kabinet Dwikora I-II, Mayor Jenderal Achmadi juga menjabat ketua Dewan Pers pertama.
Era orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih menjadi penasehat Pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan.
Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967
Di masa rezim Orde Baru (1996- 1998), politik monoloyalitas diterapkan, pada masa tersebut organisasi jurnalis bersifat tunggal, organisasi jurnalis yang lain dilarang oleh pemerintah, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) hidup dan bernafas dari fasilitas negara, gedung kantor sekretariat, pengesahan anggota, hingga pendanaan operasional.
Terbukti pejabat Departemen Penerangan dan PWI juga tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak memperkerjakan wartawan atau jurnalis yang tergabung dalam organisasi lain.
Berawal dengan di bekukannya Tempo, Detik, dan Editor oleh Pemerintah Orde Baru, pada 21 Juni 1994 karena pemberitaan yang tergolong kritis kepada penguasa Orde Baru, Bogor, 7 Agustus 1994. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru.
Sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.
AJI kemudian masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, Roda organisasi ini dijalankan di bawah tanah oleh dua puluhan jurnalis-aktivis, pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis. Sejak Terbentuk, AJI mempunyai komitmen untuk memperjuangkan hak-hak publik atas informasi dan kebebasan pers.
Untuk yang pertama, AJI memposisikan dirinya sebagai bagian dari publik yang berjuang mendapatkan segala macam informasi yang menyangkut kepentingan publik
Orde baru tumbang Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 Menyusul pada bulan Agustus 1998, IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), suatu asosiasi yang menghimpun para jurnalis televisi didirikan.
Ratusan jurnalis televisi dari RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV berkumpul di Jakarta untuk melakukan kongres pertama dan sepakat mendirikan IJTI dan memilih pengurus pertama organisasi ini.
Melalui Momentum Reformasi 1998, dan seiring berjalannya waktu Dewan Pers terus berkembang dan akhirnya memiliki dasar hukum terbarukan yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan dasar hukum baru tersebut akhirnya Dewan Pers menjadi sebuah lembaga independen.
Pembentukan Dewan Pers juga dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM. Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.
Sebagai lembaga independen, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari pemerintah pada jajaran anggotanya.
Pasca reformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers.
Peraturan tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Pencabutan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga telah tumbuh berbagai organisasi wartawan atau Jurnalis cetak dan elektronik termasuk terbentuknya Aliansi Jurnalistik Online (AJO) Indonesia pada 17 Desember 2017 di Jakarta.
Lahir di era revolusi industri 4.0, AJO Indonesia menekankan konsernnya pada pola digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, atau dikenal dengan fenomena disruptive innovation.
Yang menjadikan AJO Indonesia tampil berbeda adalah penerapan pemahaman konsep search engine optimization (SEO), serta digital marketing pada seluruh anggotanya sebagai salah satu kompetensi jurnalistik dalam meningkatkan profesionalitas Jurnalis dalam keanggotaan mereka.
*Sejarah Yang Terlupa*
Lahir di Pakualaman Jogjakarta, 2 Mei 1889, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau Ki Hadjar Dewantara lebih dikenal sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda hingga kemerdekaan Indonesia.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Indonesia.
Soewardi atau Ki Hadjar Dewantara berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit.
Ki Hadjar Dewantara Kemudian bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Tanggal 25 Desember 1912 Indische Partij didirikan oleh tiga serangkai E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara dan tercatat sebagai partai politik pertama di Hindia Belanda (Indonesia).
Indische Partij merupakan organisasi orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia. Pendiriannya dipicu oleh adanya diskriminasi antara keturunan Belanda dengan orang pribumi.
Indische Partij sebagai organisasi multietnik menginginkan adanya kerja sama antara orang Belanda atau Eropa dan orang-orang pribumi.
Partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Hindia Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913.
Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Indische Partij (IP), merupakan satu-satunya organisasi pergerakan yang secara terang-terangan bergerak di bidang politik dan ingin mencapai Indonesia merdeka. Tujuan Indische Partij adalah untuk membangunkan patriotisme semua indiers (Keturunan Indo) terhadap tanah air.
Dalam pergerakannya IP kemudian menggunakan media majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar De Expres pimpinan E.F.E Douwes Dekker sebagai sarana untuk membangkitkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis (Napoleon Bonaparte) pada tahun 1913 pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi.
Adalah suatu yang kurang pas di mana suatu negara penjajah melakukan upacara peringatan pembebasan dari penjajah pada suatu bangsa yang dia hadir sebagai penjajahnya.
Hal yang ironis ini mendatangkan cemoohan termasuk dari para pemimpin Indische Partij.
Ki Hadjar Dewantara, menulis artikel bernada sarkastis yang berjudul “Als ik een Nederlander was” (Sekiranya aku seorang Belanda). dimuat dalam De Expres 13 Juli 1913.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander (Pribumi) memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander (Pribumi) diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
Akibat tulisan artikel tersebut Ki Hadjar Dewantara ditangkap, menyusul tulisan dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang dianggap sarkasme oleh pemerintah Belanda, yang juga dimuat dalam De Expres tanggal 26 Juli 1913 yang diberi judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Akibat tulisannya itu Dr. Tjipto pun ditangkap.
Tak tinggal diam, Douwes Dekker pun mengkritik pemerintahan kolonial dalam tulisannya yang juga dimuat De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat).
Kecaman-kecaman yang menentang pemerintah Kolonial Belanda menyebabkan tokoh tiga serangkai dari Indische Partij tersebut ditangkap dan diasingkan ke Belanda.
Dalam pengasingan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Pada bulan November 1913 berdirilah Indonesische Persbureau (IP) atau Kantor Berita Indonesia di Den Haag Belanda, yang merupakan kantor berita pertama yang didirikan oleh seorang pribumi, yaitu RM Soewardi Soerjaningrat, atau Ki Hadjar Dewantara.
Indonesische Persbureau Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah “Indonesia”, yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
James Richardson Logan adalah pengelola sebuah majalah ilmiah tahunan di Singapura pada tahun 1847 yang bernama “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl bergabung sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, pada halaman 66-74, Earl menulis artikelyang bertajuk “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” (“Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia”).
Dalam artikelnya itulah Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama yaitu Indunesia atau Malayunesia.
“… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi “Orang Indunesia” atau “Orang Malayunesia”
Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia, oleh karenanya.
Earl lebih memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab menurut Earl, Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl juga berpendapat bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan Melayu.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago” (Etnologi dari Kepulauan Hindia).
Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi Kepulauan Hindia sebab istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan.
Logan kemudian mengambil nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Dan itulah untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Loga
“Mr Earl menyarankan istilah etnografi “Indunesian”, tetapi menolaknya dan mendukung “Malayunesian”. Saya lebih suka istilah geografis murni “Indonesia”, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia”.
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Kemudian tahun 1884 seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel(“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”) sebanyak lima volume.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Dan kembali lagi, seorang pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Ketika dalam pengasingan di negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.
Nama Indonesisch yang digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah pelafalan Belanda untuk Indonesia yang juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch atau Hindia oleh Prof Cornelis van Vollenhoven pada tahun1917. Sejalan dengan itu, penyebutan inlander untuk pribumi pun diganti dengan Indonesier.
Berdasarkan literatur dalam berbagai buku dan ensiklopedia jelas tertulis. Jejak sejarah pun menunjukan, nama Indonesia sebagai negara dan ciri khas bangsa lahir dari Insan Pers, dan seorang Indonesia yang pertama kali menyebutnya dan memperkenalkannya adalah Ki Hadjar Dewantara.
Maka sangat beralasan jika kemudian penanggalan Hari Pers Nasional bisa kembali ditinjau, mengingat penetapan tanggal tersebut sangat lekat dengan Rezim Orde Baru yang sangat mengekang keterbukaan informasi dan banyaknya masalah HAM yang tercederai.
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara telah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Namun sangatlah beralasan jika kemudian kita sebagai insan pers, sebagai bangsa kembali memberikan penghargaan besar terhadap perjuangan Ki Hadjar Dewatara juga kedua rekannya, E.F.E Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang kita kenal sebagai tiga serangkai dalam sebuah hari besar nasional.
Rasanya tepat jika kemudian Pemerintah kita meletakan dan menetapkan tanggal 5 Agustus sebagai Hari Pers Nasional berdasarkan tanggal tulisan kritikan Douwes Dekker kepada pemerintah Kolonial yang dimuat De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat).
Penulis Adalah Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online (AJO) Indonesia