Jakarta – Pusat Kajian Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (Puskod UKI) berharap, revisi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau UU Otsus akan dapat menjawab masalah dasar di Papua.
Hal ini mengemuka dalam webinar bertajuk “Otonomi Khusus Papua: Evaluasi dan Terobosan”, Rabu (24/2/2021).
Puskod UKI memandang, masih ada beberapa persoalan mendasar di Papua dan Papua Barat, seperti perbedaan pemahaman tentang sejarah Papua dan Papua Barat. Berikutnya menyangkut persoalan Hak Asasi Manusia, pembangunan dan marginalisasi serta menyangkut pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam.
Mengutip pandangan Roscoe Pound, pemikir hukum dan akademisi Amerika, langkah revisi terhadap UU yang berusia sekitar 2 dekade itu diharapkan menjawab masalah serta mendorong pembaharuan hidup di Papua.
“Law as a tool of social engineering, begitu prinsipnya. Diharapkan revisi ini dapat menggerakkan kehidupan masyarakat dan kehidupan berbangsa dalam bingkai NKRI,” ujar Ketua Puskod UKI Teras Narang dalam webinar itu.
Teras menyebutkan, melalui webinar ini diharapkan ada diskursus akademis sekaligus penyusunan pandangan dalam memberi kontribusi terhadap revisi UU Otsus.
Terlebih melihat kompleksitas masalah di Papua, Teras mengaku, teori tiga nilai hukum dari filsuf Gustav Radbruch dinilai relevan.
“Agar dipastikan revisi UU Otsus memberikan 3 hal bagi masyarakat Papua yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan,” ujarnya.
Senator DPD RI dari Kalimantan Tengah itu menambahkan, dana Otsus berikutnya mesti dipastikan pula untuk dapat menggerakkan percepatan pembangunan sehingga Papua sejajar dengan daerah lain di Indonesia.
Selain itu, lanjutnya, perubahan UU Otsus ini diharapkan tidak hanya menjamin keberlanjutan dana Otsus semata, akan tetapi mampu menghadirkan perbaikan dalam pengelolaan, pembinaan dan pengawasan Otsus di Papua dan Papua Barat.
“Kami berusaha untuk selalu hadir mengawal isu otonomi daerah, karena ini tak lepas dari kegiatan civitas akademika dan Tri Dharma Perguruan Tinggi Kampus Kasih (UKI). Semoga apa yang kita bicarakan bermanfaat bagi bangsa dan negara,” harap Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2015 tersebut.
Senada dengan itu, Vience Tebay yang merupakan akademisi dari Universitas Cenderawasih di Papua menyebutkan, ada perbedaan persepsi dari pemerintah pusat di Jakarta dengan pandangan umum di masyarakat Papua soal dana Otsus.
“Satu sisi pemerintah pusat menilai ada keberhasilan, sebaliknya ujar Vience, banyak masyarakat yang menilai dana Otsus gagal karena memang persoalan dasar di Papua dan Papua Barat, selama 20 tahun tidak terjawab,” Vience Tebay.
Sementara itu Antonius Ayorbaba, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua menyebut tantangan yang mesti dijawab adalah bagaimana membuat Papua merasa menjadi bagian dari Indonesia dan sebaliknya Indonesia bisa memahami Papua.
Di sisi lain ia pun juga menilai perlu adanya pengelolaan keuangan secara transparan agar masyarakat dapat terlibat dalam mengawal pembangunan. Ini menurutnya jadi tantangan tersendiri termasuk bagaimana perubahan birokrasi dapat dilakukan oleh pemimpin birokrasi di daerah. Antonius pun berharap Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat dapat melakukan terobosan dengan adanya dana Otsus.
“Seberapa besar pemda kita melakukan terobosan terkait dana otsus untuk menjawab persoalan sosial kemasyarakatan. Ini yang perlu dirumuskan,” ujarnya.
Praktisi hukum dan akademisi, Blucer W. Rajagukguk pun memberi pandangan, dana Otsus patut untuk tetap dilanjutkan.
Namun lebih jauh ia berpendapat, dana Otsus juga tidak sepenuhnya diberikan dalam bentuk tunai atau transfer daerah. Sebagian besar menurutnya perlu diberikan dalam bentuk infrastruktur fisik seperti transportasi jalan yang meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, lapangan kerja serta percepatan pembangunan manusia serta ekonomi.
“Hal ini diharapkan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua,” pungkas Blucer.