Jateng- Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemdikbud, Sjamsul Hadi menjelaskan, identifikasi budaya spiritual merupakan ruang bagi masyarakat untuk menemukan, menggali, dan mengenali kembali warisan maupun potensi budaya spiritual yang ada di wilayahnya, seperti halnya di Borobudur.
Hal itu dikatakan Samjul Hadi dalam acara sarasehan budaya spiritual kawasan candi Borobudur di Balkondes Ngargogondo, Borobudur, Jawa Tengah, Senin 8 November 2021.
Menurutnya, identifikasi budaya spiritual pada 20 desa di sekitar kawasan candi Borobudur telah dilakukan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat berkerja sama dengan eksotika desa.
“Proses ini melibatkan partisipasi aktif dari warga desa, khususnya generasi muda sebagai pemilik dan pewaris kebudayaannya,” ungkap Sjamsul Hadi.
“Menggali dan menemukan potensi budaya spiritual dilakukan melalui pendekatan njajah desa milangkori dengan proses sowan, srawung, dan dolan yang dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan rasa percaya. Karena ternyata tidak mudah bagi para sesepuh desa untuk menceritakan hal-hal terkait spiritualitas”, cerita Panji dari Eksotika Desa.
Kata dia, budaya spiritual yang hidup di masyarakat kawasan Borobudur merupakan wujud dari pandangan hidup tentang keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
Sejalan dengan harapan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid tentang kebudayaan yang seharusnya tidak rumit.
“Kalau semua anak di Indonesia sejak usia muda mengenal lingkungan alam, hubungan dengan manusia, dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat secara utuh. Itu mimpi saya untuk kebudayaan. Kebudayaan buat saya tidak rumit, kembali ke akar karena dari situlah lahir banyak kebaikan,” tutur Hilmar.
Dijelaskan Sjamsul Hadi, hasil identifikasi budaya spiritual yang sangat kaya ini diharapkan dapat digunakan sebagai pijakan bagi upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan Candi Borobudur.
“Tanpa harus meninggalkan identitas (nilai) ataupun mengurangi keluhuran (makna) dari obyek pemajuan kebudayaan yang dimiliki masyarakat”, demikian Sjamsul Hadi.