Kronologis Konflik Agraria Masyarakat: Studi Kasus UPT Tambak Sari Seteluk Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi NTB

0
1356

NTB – Mengurai masalah konflik agraria yang terjadi di Desa Tambak Sari Kecamatan Poto Tano Provinsi NTB atas Lahan Petak Tambak Udang yang sebelumnya merupakan Lahan Usaha (LU) Warga TIR Trans Seteluk, yang berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) yang kini telah di Hak Guna Usahakan (HGU) atas Nama PT. Bumi Harapan Jaya yang beralamat di Jakarta semenjak tahun 2012 yang lalu. Terus menuai protes.

Pasalnya, lahan yang sebelumnya dikuasai oleh negara melalui Badan Administarasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk atas tanah seluas 299 Ha yang dikuasai Negara atas pelepasan hak oleh pemilik sebelumnya atas sebagian tanah HGU No. 7 Senayan yang dikuasai oleh PT. Sekar Alam yang berkedudukan di Surabaya. Untuk pembuatan Tambak Udang dan Pemukiman Warga seperti di jelaskan dalam Surat Keputusan (SK.No.50 /BPN/2000).

Program transimigarasi masuk tahun 2000 yang mana pada saat itu Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk. Kemudian, PT. SAJ masuk tahun 1996 dan mulai rekrut plasma untuk kontrak kerjasama atas lahan. PT. SAJ beroperasi dari tahun 1997 hingga 1999. Karena terjadi reformasi 1998, maka otomatis perusahaan tersebut bangkrut. PT. SAJ hingga tahun 2012 terjadi stagnan tidak ada kepastian pembiayaan dari perusahaan. Maka status lahan tersebut, dikembalikan kepada masyarakat dengan keluarnya SK 50/BPN/2000 saat itu. Atas penguasaan tanah oleh negara tersebut. Di dalamnya termasuk petak tambak udang yang langsung atas nama plasma (warga masyarakat) sebagai Lahan Usahanya.

Obyek dalam sengketa ini sebelumnya dikuasai oleh PT. Sekar Abadi Jaya (PT. SAJ) tahun 1996 yang paling awal masuk ke lokasi wilayah Tambak Sari untuk investasi budidaya udang sebagai prusahaan Inti. Yang mana lokasi tersebut masih masuk dalam teritorial Desa Senayan Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa dan saat ini menjadi Desa Tambak Sari Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat.

Pengusaha yang berjejaring dengan Cendana melirik lokasi tanah tambak pesisir yang berada di Kecamatan Seteluk yang berpeluang dalam usaha budidaya udang dan potensi investasi usaha jambu mente. Realisasi masuknya investasi budidaya pada masa Bupati Sumbawa Eddy Yakoeb Koeswara, sekitar tahun 1997.

Izin investasi Budidaya udang di Tambak Sari atas persetujuan Bupati Yakub Koeswara. Tentu, sejurus dengan PT. Sekar Abadi Jaya (PT. SAJ) yang merupakan pemiliknya berjejaring cendana, sala satu anak dari mendiang Presiden Soeharto. Maka, dapat dikatakan; penguasaan lahan oleh kroni soeharto di Sumbawa masa itu. Situasi pemerintahan di zaman orde baru itu, sangat istimewa karena pengusaha mendapat karpet merah. Pemerintah daerah (pejabat Bupati) pun waktu itu sangat segan dan takut kalau tidak diberikan izin. Begitulah kira rantai bisnis kalau berbau cendana.

Pengusaha PT. SAJ kerjasama dengan pejabat daerah melakukan persiapan budidaya udang di lokasi tansmigrasi. Tentu, lokasi dikuasai oleh masyarakat UPT. Tambak Sari Desa Senayan (waktu itu) dengan masing – masing sudah memiliki surat kepemilikan sertifikat tanah (SHM) masyarakat berupa surat keterangan dari pemerintah dan Surat Pembayaran Pajak Tahunan (SPPT).

Pada saat itu, wilayah tersebut masi masuk desa senayan dan desa tambak sari berstatus Unit Pemukiman TIR Trans Seteluk dan sistem pemerintahan dipimpin oleh Korades (Kordinator Desa) dibawa KUPT (Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi).

Kasus industri akuakultur (budidaya) Tambak Sari Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat menggunakan PT. Bank Harfa (Red: Bank sudah tak ada) sebagai alat berhutang atau mengambil persetujuan modal kepada Bank Indonesia dengan jaminan sertifikat tanah milik masyarakat TIR UPT Tambak Sari Poto Tano untuk usaha Budidaya.

Pada program Tambak Inti Rakyat (TIR) udang, yaitu PT. SAJ (Red: dulu) dan PT BHJ (Red: Sekarang) yang berlokasi di Desa Tambak Sari Kecamatan Poto Tano Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) banyak ditemukan masalah.

Mulai dari masalah internal PT. SAJ yang mengalami bangkrut (gagal / kredit macet. Lalu Bank Harfa melelang PUPN Bima. Hingga status pengalihan aset kepada PT. BHJ warga TIR Tambak Sari Poto Tano tidak dilibatkan. Padahal, sebelumnya dilibatkan dalam kontrak Lahan Usaha yang dijamin Sertidikat Hak Milik.

PT. SAJ dan PT BHJ mengunakan sarana PT. Bank Harfa untuk mengajukan KLBI kepada Bank Indonesia tanpa persetujuan Plasma (warga masyarakat). PT. Bank Harfa pun lakukan pelelangan aset PT. SAJ tidak diketahui Bank Indonesia. Padahal, syarat pelelangan harus ada Fatwa dari Bank Indonesia dan kesepakatan Warga TIR Tambak Sari Poto Tano.

Sebaliknya, bisa dibekukan dengan meminta fatwa legal Bank Indonesia oleh Komunitas TIR UPT Tambak Sari dalam rangka pengembalian aset lahan usaha masyarakat. Tentu yang diharapkan Bank Indonesia menyediakan sarana hukum legal standing atas sertifikat lahan yang dijaminkan kepada Bank Harfa. Hal itu harus dilakukan oleh PT. Bank Harfa.

Namun, pihak perusahaan dan PT. Bank Harfa tetap bertahan. Karena itu, dianggap asetnya. Karena PT. BHJ tidak dalam posisi harmonis hubungannya dengan plasma (Warga Masyarakat) dalam proses pengambilan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Sehingga berpengaruh terhadap kegiatan usaha.

Lagi pula, sebenarnya Presiden, Gubernur dan Bupati bisa mencabut izin perusahaan tersebut. Atas dasar pada pelanggaran terhadap status lahan, syarat formil Hak Guna Usaha, pencemaran lingkungan, kewajiban pemeliharaan hutan mangrove dan tidak harmonis hubungannya dengan masyarakat.

Selain itu, fakta yang ditemukan sebagai berikut:

1). PT. SAJ mulai investasi di UPT. Desa Tambak Sari tahun 1990-an menggunakan lahan tambak masyarakat berserta surat Sertifikat Hak Milik melalui perjanjian kerjasama penggunaan lahan usaha (LU).

2. PT. SAJ bangkrut, kemudian dilelang aset oleh PT. Bank Harfa ke PUPN Bima tahun 2000-an. Selisih tahun izin, lelang dan gagal macet kredit sangat jauh rentangnya. Namun PT. Bank Harfa tidak jadi lakukan lelang karena permintaan PT. SAJ akan dilunasi kredit.

3. PT. SAJ kemudian mengalihkan aset kepada PT. BHJ (masih satu atap), satu pemilik perusahaan hanya saja beda nama perusahaan. Kemudian PT. BHJ itulah yang membayar kredit macet kepada BANK HARFA tersebut. Sementara tahun berdiri PT. BHJ adalah Tahun 2012.

4. Konteks izin usaha juga mengalami masalah, yakni: pertama, tentang waktu sangat jauh. Izin pengunaan lahan dikeluarkan kakanwil BPN Provinsi NTB tahun 2012. Sementara izin usaha dikeluarkan oleh Bupati Sumbawa Barat tahun 2017. Selisih tahun sangat jauh.

5. Pengajuan izin, tentu harus melampirkan kesepakatan masyarakat Warga TIR Tambak Sari atas status lahan Hak Guna Usaha Namun, dasar-dasar pemberian izin tersebut, tidak disetujui oleh masyarakat sebagai HGU karena sudah mengerti perusahaan bermasalah. Mengapa Bupati Sumbawa Barat berani memberikan Izin kepada perusahaan bermasalah?.

Syarat PT. SAJ dan PT. BHJ dalam kerjasama budidaya udang itu, harus ada jaminan KLBI bagi sektor pengelolaan tambak dari Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas. Namun Bank Indonesia tidak pernah mengeluarkan KLBI tersebut kepada PT. BHJ untuk melanjutkan usaha investasi tambak.

KLBI fungsinya menunjang program pemerintah, sehingga hubungan perusahaan inti dengan plasma diharapkan harmonis sehingga pengembangan sektor Kelautan dan Perikanan, terutama aspek akuakultur (budidaya) dapat berjalan baik. Namun, terjadi masalah konflik lahan atas dasar masyarakat tidak setujui HGU perusahaan PT. BHJ tersebut.

Namun, interaksi PT. BHJ dengan warga masyarakat Tambak Sari tidak sinergi dengan baik, terutama tidak memiliki iktikad baik untuk kembalikan kepemilikan lahan masyarakat yang telah diambil dan digadai (Red: sesuai periode awal kesepakatan). Pola hubungan perusahaan Inti – Plasma seperti ini tidak layak dikatakan sehat sehingga tidak terciptanya hubungan kerjasama yang baik. Selain itu, Budidaya udang di UPT Tambak Sari Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat ini termasuk prioritas tinggi dari pemerintah yang diharapkan meningkatkan keuntungan kedua belah pihak antara PT. BHJ dengan masyarakat Tambak Sari Poto Tano.

Mestinya, mereka utamakan kesejahteraan dari pendapatan yang diperoleh PT. BHJ. Namun, masalah yang dihadapi masyarakat karena tidak diberikan apapun oleh perusahaan sebagai kewajiban dalam pengelolaan lahan masyarakat Tambak Sari. Sertifikat lahan yang diagunkan kepada Bank Harfa juga tidak atas persetujuan masyarakat TIR Tambak Sari dan Bank Indonesia sebagai legal standing untuk pelaksanaan modal investasi pengelolaan budidaya.

Dalam Peraturan Pemerintah tentang pola Budidaya Udang bahwa pola hubungan antara perusahaan yang memberi KLBI bagi usaha kecil masyarakat yang bergabung dalam plasma, sepenuhnya melalui koperasi yang dibuat sebagai syarat distribusi hasil produksi. PT. BHJ harus secara rutin memberi skim kredit melalui koperasi yang dibentuk sejak usaha budidaya dibangun. Tentu, skim kredit itu diberikan kepada masyarakat Tambak Sari Poto Tano sebagai aspek pertanggung jawaban.

Karena, peraturan Bank Indonesia, bahwa KLBI atas jaminan agunan lahan harus direalisasikan melalui koperasi primer beranggota masyarakat yang disebutkan dalam perjanjian kerjasama berdasarkan jumlah besaran warga masyarakat yang tinggal disekitar Tambak Sari dan Seteluk Kec. Poto Tano.

PT. BHJ harus berikan jaminan hidup masyarakat dari hitungan beban kredit, baik kebutuhan sehari-hari plasma maupun pola gaji yang sudah ditetapkan. Besar biaya hidup dari perusahaan harus diberikan yang besarnya di sesuaikan, tidak dengan nilai jual udang yang diperoleh.

Peraturan Budidaya Udang (regulasinya) sejak zaman Soeharto hingga sekarang adalah: 1). Hubungan harmonis dengan masyarakat: 2). Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat; 3). Penanaman Mangrove sebagai filter limbah disekitar pertambakan 12-100 hektar; 4). Budidaya harus melibatkan masyarakat melalui koperasi; 5). Koperasi yang mengatur Gaji, insentif, dan kehidupan masyarakat sekitar; 6). Kalau tidak sesuai syarat – syarat budidaya, maka kepala daerah bisa mencabut izin perusahaan budidaya tambak sistem TIR.

Masalah ini bukan hanya di KSB Tambak Sari. Tapi Sulawesi, Lampung, Kalbar, Jambi, sumatera terjadi hal yang sama. Model masalah yang dihadapi beda – beda. Intinya pada LU, HGU, Kredit Macet. Akhirnya lahan berubah menjadi lahan Hak Milik Perusahaan atau pribadi melalui instrumen pengalihan kredit macet.

Sebenarnya, plasma masih dapatkan persentase perubahan suku bunga progresif dari biaya hidup selama kontrak perjanjian berlaku, yang diberikan oleh perusahaan kepada plasma (warga masyarakat), apabila terdapat selisih keuntungan dari sisa pembagian dengan pengurus Koperasi. Tetapi, itu tidak dilakukan oleh perusahaan (korporasi akuakultur) tersebut

Namun, PT BHJ tidak memenuhi perjanjian yang tertuang dalam KPPA, Peraturan Pemerintah Tentang Pembudidayaan Udang, dan pola distribusi kredit dari Bank Harfa langsung ke PT. SAJ maupun PT. BHJ sehingga tidak diketahui oleh Koperasi Usaha Bersama (KUB) dan Plasma.

Perlawanan Rakyat Tambak Sari dan Pentingnya Keberpihakan Bupati Kabupaten Sumbawa Barat, Gubernur dan Presiden

Masyarakat transmigrasi sebagai pemilik lahan resmi sejak itulah masyarakat trans mulai bereaksi dan melakukan perlawanan dengan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Daerah dan DPR, bahkan melaporkan ke kantor Wilayah Transmigrasi NTB di Mataram.

Perjuangan masyarakat Tambak Sari hingga ke Jakarta menemui Presiden Republik Indonesia melalui Kantor Staff Kepresidenan baru-baru ini. Hal itu, dilakukan berbagai cara dan upaya lakukan perlawanan. Masyarakat hingga kini tetap lakukan apapun upaya untuk menguasai kembali lahannya yang diambil oleh PT. SAJ, PT. BHJ dan Bank Harfa.

Kedepan, mestinya pemerintah merespon warga masyarakat secara baik dan benar. Mendahulukan kepentingan rakyat dari pada melindungi korporasi yang merusak usaha-usaha dan lahan masyarakat. Masalah konflik agraria ini, pemerintah daerah sangat lemah dalam mengambil kebijakan dan melindungi rakyatnya. Banyak melindungi perusahaan yang ada.

Dalam keadaan seperti ini, masyarakat trans akan melawan siapa pun yang mencoba mengambil lahan masyarakat. Termasuk, investasi ilegal budidaya tambak udang karena ijin operasional dari pemerintah daerah dikeluarkan secara tidak fair dan tidak memikirkan kepentingan warga masyarakat.

Konflik horisontal dan vertikal terjadi pada masyarakat Tambak Sari sudah sangat lama sekali. Hal ini dugaannya pihak perusahaan adu domba masyarakat Tambak Sari dengan memasang seseorang untuk memecah belah. Belum ada penyelsaian masalah lahan Hak Guna Usaha (HGU). Sebenarnya sangat gampang sekali, apabila pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat berkomitmen untuk melindungi rakyat Tambak Sari. Namun, selama ini konflik perusahaan dengan masyarakat Transmigrasi tidak berkesudahan. Maka, pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat bisa dalam bentuk cabut izin terhadap operasi PT. BHJ dalam mengelola lahan tambak.

Pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat bisa membuat regulasi dan Peraturan Daerah berdasarkan undang-undang Otonomi Daerah. Apalagi, menambah dasar pertimbangan yang lain, seperti menimbang kondisi sosial ekonomi lingkungan masyarakat yang mengalami pencemaran lingkungan. Apalagi, putusan dalam berbagai tingkat pemerintahan, mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah kecamatan telah memberi keputusan, bahwa; lahan – lahan tersebut, perusahaan harus diberikan kepada masyarakat.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat harus memberi kepastian hukum untuk diberikan lahan – lahan Hak Guna Usaha (HGU) tersebut, diberikan kepada masyarakat. Tentu kebijakan pembebasan harus dibuat Peraturan Daerah khusus tentang pembebasan lahan tambak sari sehingga masyarakat mendapat kepastian hukum.

Hal inilah yang membuat sertifikat agunan yang dijamin kepada Bank Harfa itu tidak dapat dikembalikan karena puluhan tahun lalu dilanda krisis dan failid sehingga lahan berstatus sebagai aset lahan perusahaan, bukan lahan masyarakat lagi. Atas peristiwa kronologis ini, masyarakat UPT. Seteluk Tambak Sari menuntut pemerintah dan diberikan waktu dalam waktu dua bulan untuk menyelsaikan kasus konflik agraria ini.

PERTAMA: Warga Transmigrasi Seteluk (UPT Tambak Sari dan Desa Senayan), Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) menggugat Hak Lahan Usaha (HLU) yang diambil oleh PT. BHJ atas pengalihan aset dari PT. SAJ berupa lahan Petak Tambak Udang yang berlokasi di Desa Tambak Sari Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat (KSB).

KEDUA: Warga yang tergabung dalam Komunitas Warga Transmigrasi Seteluk tetap tuntut dunia akherat Hak Lahan Usaha yang ada. Menuntut kepada pemerintah daerah (Bupati), Pemerintah Provinsi (Gubernur), Pemerintah Pusat (Presiden) agar segera mengambil keputusan. Karena warga masyarakat sudah berjuang selama 12 tahun lamanya, belum temukan solusi.

KETIGA: Warga masyarakat meminta pihak BPN Provinsi NTB agar segera cabut izin status lahan petak Tambak Udang Hak Guna Usaha (HGU) atas Nama PT. Bumi Harapan Jaya (BHJ).

KEEMPAT: Warga masyarakat menuntut BPN Provinsi NTB agar segera terbitkan sertifikat atas nama Hak Milik Masyarakat sesuai dengan Lahan Usaha (LU) yang diterima sejak awal sesuai surat Dirjen Pengembangan Kawasan Transmigrasi Pusat Kemendes PDT No. B.109/DPDTT/DPK Trans 01/2017 dan Badan Pertanahan Nasional bernomor SK.No.50 /BPN/2000 untuk kembalikan lahan tersebut kepada masyarakat transmigrasi Tambak Sari

KELIMA: DPRD Sumbawa Barat dan Pemerintah Kab. Sumbawa Barat perlu terbitkan Peraturan Daerah tentang wilayah tersebut, tidak boleh lagi di jadikan Lahan tambak budidaya maupun perkebunan karena berdasarkan studi lingkungan tingkat pencemaran sangat tinggi. Masyarakat Transmigrasi Desa Tambak Sari Kec. Poto Tano secara khusus hingga sekarang tetap menolak korporasi apapun.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here