Penulis: Hasan Gauk, Ketua Umum Serikat Nelayan Independen
Lombok,NTB – batamtimes.co – Bicara soal masyarakat nelayan di negeri ini tidak akan pernah tuntas. Persoalannya karena terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak mafianya.
Masyarakat nelayan sekarang diperbolehkan melakukan penangkapan benih bening lobster. Permen KP Nomor 7 tahun 2024, lalu informasi berseliweran di media bahwa, nelayan Pembudidaya menolak keran ekspor benih bening lobster kembali dibuka. Persoalan itu muncul karena ada rasa ketakutan yang akan terjadi yaitu kelangkaan bibit untuk teman-teman pembudidaya. Begitu infonya yang berseliweran.
Sementara transfer perkembangan informasi tentang proses budidaya dan ekspor BBL tidak pernah sampai ke masyarakat pembudidaya. Padahal ini persoalan serius.
Sementara bunyi pasal 19 ayat 2 dari Permen 7 tahun 2024 bahwa “Setiap orang dilarang menangkap Lobster (Panulirus SPP) di atas ukuran BBL sampai dengan ukuran 150 gram untuk Lobster pasir sampai 200 gram untuk Lobster jenis lainnya”.
“Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) melakukan usaha perikanan yang tidak memiliki perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
Apakah persoalan ini diketahui oleh masyarakat nelayan pembudidaya?. Saya rasa 99% mereka tidak mengetahuinya. Karena yang terjadi di nelayan pembudidaya, mereka lebih banyak menebar bibit dari ukuran bibit Jarong, Jangkrik, JK, untuk memangkas waktu pemeliharaan, panen bisa 5/7 bulan. Sementara, kalau bibit dari ukuran bening, mereka akan pelihara sampai 10/12 bulan. Bicara soal pasal di atas, tentu mereka bisa kena pidana karena telah melanggar aturan hukum.
Misalnya di Kabupaten Lombok Timur ada Keramba Jaring Apung dengan jumlah lubang sekitar 8. 672. Kalau dirata-rata kebutuhan bibitnya berkisar 876.200 ekor/tahun. Ini jumlah yang sangat sedikit. Teman-teman koperasi bisa memenuhi kebutuhan paling lama 1 Minggu, apalagi saat bibit lagi naik-naiknya. Jadi soal informasi kelangkaan bibit yang dikarenakan kembalinya ekspor benih bening lobster ini bisa dikatakan hoax.
Persoalannya bukan pada kelangkaan benih bening lobster yang selama ini selalu disuarakan, ini lebih ke soal negara tidak hadir pada masyarakat pembudidaya.
Seharusnya negara lewat BLU, BUMD, Balai Perikanan misalnya menyediakan bibit siap tebar untuk nelayan pembudidaya, dengan harga yang cukup terjangkau, syukur-syukur bisa gratis.
Harapan saya, aturan ini harus segera dibenahi, jangan sedikit – sedikit rakyat mau dipenjara, juga soal pembenahan tata niaga benih bening lobster, jangan sampai orang – orang yang sudah taubat, yang dulu pernah di jalan sesat dengan melakukan pengiriman secara black market ini kembali pada jalur yang salah. Pasar bebas, informasi harga dari negara tujuan kita tahu.
“Janganlah menindas rakyat dengan harga yang begitu murah, dan cara penanganan BBL yang dikirim dari daerah ke BLU tidak baik. Beberapa kejadian, ada banyak kematian yang berakibat koperasi rugi.”
Negara harus hadir, kalau mau memberikan kesejahteraan pada masyarakat nelayan, biarkan koperasi kirim langsung benih bening lobster ke negara tujuan, PNBP bisa negara dapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan hari ini. Bahkan koperasi siap memberikan Rp 10.000 untuk PNBP.
Sementara hari ini, Negara hanya mendapatkan Rp 3000/4000 dari perusahaan perusahaan Joint Venture. Kurang loyal apa rakyat kepada negara kalau mau memberikan keuntungan yang jauh lebih besar.
Dalam surat terbuka Hasan Gauk sebagai Ketua Serikat Nelayan Independen (SNI) pada tanggal 03 September 2024, surat tersebut di tujukan kepada Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, bahwa melihat kejanggalan yang dilakukan perusahaan dalam melakukan kedok budidaya luar negeri yang ditunjuk oleh KKP RI terkait implementasi Permen 7 tahun 2024, maka kami mendesak melakukan audit kepada perusahaan dan kementerian yang ditujukan dalam melakukan budidaya, baik di dalam dan luar negeri.
“Ada monopoli besar-besaran yang dilakukan Perusahaan dan tentu ini sangat merugikan masyarakat nelayan.”
“Kami meminta agar KPK dan Kejaksaan Agung untuk melakukan pemeriksaan kepada seluruh Perusahaan yang ditunjuk, mengingat, ada kuota sekitar 493 juta benih bening Lobster, berapa persen yang sudah disetorkan ke Negara. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).”
“Permen KP 7 tahun 2024 ini mumpung masih hitungan bulan, tata kelola penanganan Benih Bening Lobster (BBL) harus segera diperbaiki, harus dilakukan pembenahan besar-besaran, baik di KKP, perusahaan, dan BLU. Tangkap dan adili oknum-oknum yang terlibat di dalamnya.”
Masalah kebohongan budidaya. Banyak orang Vietnam berkeliaran di Indonesia dengan dalih melakukan budidaya, kami (SNI) sudah melakukan pemeriksaan di wilayah Rhee–Sumbawa, tidak ada alih teknologi yang sering digaungkan.
Kalau melihat mekanisme proses Budidaya yang dilakukan orang Vietnam di wilayah Rhee itu, tidak jauh berbeda dengan proses budidaya yang dilakukan orang Indonesia, bahkan, jauh lebih hebat. Lalu apa yang dibanggakan selama ini terkait keberhasilan budidaya di Vietnam?. Tak lain hanya jalur akses yang lebih dekat dengan negara penerima hasil budidaya.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan maksimal jika perusahaan tidak di libatkan, biarlah Koperasi yang melakukan pengiriman secara langsung ke negara penerima, tinggal dihitung berapa Benih Bening Lobster atau Surat Keterangan Asal Barang (SKAB) yang dikeluarkan dinas kelautan – perikanan. Negara, lewat pengawasan yang ketat tentu akan mendapatkan pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diberikan Perusahaan selama proses Permen KP 7 tahun 2024 ini berlangsung.
Kami Serikat Nelayan Independen (SNI) mendukung ekspor Benih Bening Lobster, selain untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, juga untuk menambah pendapatan Negara.
Kerugian negara dalam 4 bulan terakhir ini sudah sangat besar, mengingat kenyataannya, PNBP yang dijanjikan tidak dapat mencapai target. Informasi yang kami dapatkan, ada 2,7 juta ekor Benih Bening Lobster.
Pengiriman dari koperasi (daerah) ke BLU BPBAP Sitobondo dibawah Ditjen Perikanan Budidaya dan Ditjen Perikanan Tangkap KKP RI yang berkisar antara 50,000–300,000 ekor perhari. Dari data yang diperoleh, hanya 60% yang dikirim secara resmi oleh BLU BPBAP Sitobondo dibawah Ditjen Perikanan Budidaya dan Ditjen Perikanan Tangkap KKP RI, sisanya diselundupkan secara ilegal, tentu ini ada dugaan keterlibatan oknum perusahaan Joint Venture dan BLU.
Ada beberapa kejanggalan yang kami temukan di daerah, misalnya, salah satu JV atau perusahaan langsung turun ke nelayan untuk melakukan pembelanjaan, sementara yang memiliki wewenang dalam peraturan Permen 7 tahun 2024 ini adalah BLU.
Beberapa pengaduan terkait proses pengadaan benih bening lobster yang merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp).
Dalam proses pengadaan Benih Bening Lobster Badan layanan Umum Situbondo harus memiliki Standart Operasional Prosedur (SOP) dan Petunjuk Teknis terkait Penanganan Barang Benih Bening lobster mulai dari penerimaan barang oleh koperasi sampai terbitnya berita acara penghitungan Benih Bening Lobster Oleh BLU.
Monopoli harga yang dilakukan JV pada saat pembelian BBL. Masalah harga yang tidak seragam dari berbagai wilayah. Ini salah satu bentuk monopoli harga.
Kami akan laporkan dugaan Korupsi yang dilakukan, perusahaan dan BLU ke penegak hukum. Ganti Mentri Kelautan jika dia tidak becus mengelola laut. (*)