Menikah atau Tidak Menikah? Anak Muda dan Dilema Pernikahan di Era Modern

0
363
Keterangan Foto : Abu Rokhmad Musaki (Dirjen Bimas Islam Kemenag RI)

Fenomena penurunan angka pernikahan dan peningkatan angka perceraian di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm bagi kehidupan keluarga di tanah air. Data menunjukkan bahwa sejak 2019 hingga 2023, jumlah pernikahan terus menurun, sementara angka perceraian justru meningkat secara fluktuatif. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: mengapa anak muda semakin enggan menikah, dan mengapa lebih banyak pasangan memilih bercerai.

Alasan ekonomi sering menjadi faktor utama penundaan pernikahan. Biaya hidup yang semakin tinggi, tuntutan karir, dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum menikah. Studi dan pengembangan diri juga menjadi prioritas bagi sebagian besar anak muda, yang lebih memilih menunda pernikahan demi pendidikan dan pengalaman kerja yang lebih matang.

Namun, ada faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu perubahan persepsi terhadap pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak lagi dianggap sebagai keharusan, melainkan pilihan yang harus dipertimbangkan dengan sangat matang. Survei GenRe (2024) menunjukkan bahwa hanya 26% anak muda usia 21-24 tahun yang tidak takut menikah. Ini berarti mayoritas masih ragu dan bahkan takut dengan konsekuensi yang mungkin muncul setelah pernikahan.

Pernikahan: Tanggung Jawab atau Beban?

Di era modern, pernikahan sering kali dianggap sebagai beban ketimbang tanggung jawab. Biaya rumah tangga, tuntutan sosial, dan ketidakpastian masa depan menjadi faktor yang membuat banyak orang enggan terikat dalam ikatan pernikahan. Di sisi lain, gaya hidup individualis dan kebebasan yang semakin diutamakan juga mengubah pola pikir generasi muda terhadap institusi pernikahan.

Namun, ada hal yang perlu diluruskan. Pernikahan bukan hanya tentang beban finansial atau tanggung jawab berat. Pernikahan juga menghadirkan stabilitas emosional, dukungan moral, dan rasa memiliki yang bisa menjadi kekuatan besar dalam menjalani kehidupan. Secara spiritual, agama mendorong pernikahan sebagai jalan menuju ketenangan, cinta, dan kasih sayang, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Rum ayat 21.

Jika kita melihat dari perspektif sosial dan ekonomi, pernikahan memiliki dampak positif yang signifikan. Sebuah keluarga yang stabil berkontribusi pada masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera. Negara juga mendapatkan manfaat dari pernikahan yang kuat, karena keluarga yang harmonis cenderung melahirkan generasi yang lebih produktif dan bertanggung jawab.

Sudah saatnya kita mulai mengkaji manfaat pernikahan dari sudut pandang ilmiah dan ekonomi. Dapatkah ketenangan batin, cinta, dan tanggung jawab dalam pernikahan diukur dalam bentuk angka? Jika ya, maka ini bisa menjadi pendekatan baru untuk meyakinkan generasi muda bahwa menikah bukan hanya soal tradisi atau tuntutan sosial, tetapi juga memberikan keuntungan nyata dalam kehidupan pribadi dan pembangunan negara

Anak muda yang memilih menunda atau bahkan tidak menikah memiliki alasan yang dapat dimengerti. Namun, mereka juga perlu mendapatkan edukasi yang tepat tentang pentingnya membangun keluarga. Menikah bukan sekadar kewajiban agama, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kebahagiaan dan kesejahteraan.

Memang, menikah tidak selalu mudah, tetapi dengan perencanaan yang matang, kesadaran akan tanggung jawab, serta keyakinan bahwa pernikahan membawa berkah, generasi muda dapat melihat bahwa pernikahan bukan sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan sesuatu yang layak diperjuangkan.

Penulis: Abu Rokhmad Musaki (Dirjen Bimas Islam Kemenag RI)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here