Oleh : Iskandar Pohan
Rasa penyesalan dari tervonis lima belas tahun penjara hidup Sulaiman (38) warga Setengar, Desa Cemaga Selatan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, menguatkan premis terjadinya kemerosotan moralitas manusia
Sidang pembacaan putusan Pengadilan Negeri Ranai digelar di ruang sidang Pengadilan Negeri Ranai, Natuna, Rabu (12/12/2018) petang.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 15 tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti pidana kurungan 6 bulan, ujar Ketua Majelis Hakim Fahri Ikshan membacakan surat putusan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ranai, Eka Putra Kristian Waruwu, SH.MH, menyebutkan terdakwa terbukti melanggar pasal 81 ayat (3) dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Putusan Hakim tersebut sesuai dengan pembuktian unsur-unsur dan pasal yang dibuktikan penuntut umum dalam tuntutanya.
Terdakwa Sulaiman tega dengan nafsu syeitanya menyetubuhi anak kandung di rumah sendiri tinggal berempat bersama nya, sebut saja Bunga yang masih berumur 15 tahun merupakan putri pertama Sulaiman.
Fakta persidangan terbukti Sulaiman melakukan kekerasan dan memaksa anaknya untuk melayani nafsu birahinya.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember 2017 sampai bulan Agustus 2018 dan dilakukan hingga 20 kali. Akibatnya, putri si mata wayangnya hamil dan melahirkan hingga bayinya meninggal dunia
Kuasa hukum dari Advokasi Aminuddin,SH dan patners menyatakan pikir-pikir tanpa mengajukan banding.
Perbuatan Sulaiman mungkin mewakili hampir semua pelaku, terpidana Asusila apalagi korbannya adalah Putri kandungnya sendiri. Perbuatan itu menjadi gambaran bagi kita mau meyakin-yakinkan diri tidak semua ayah mampu menjadi pelindung bagi keluarga.
Kenyataannya, moral dan nafsu akan menjadi bahaya yang tak terkendalikan tanpa diisi dengan kekuatan keimanan.
Ketika ada pelaku asusila terbukti melakukan pencabulan terlebih kepada putri kandung sendiri yang lainnya berkomentar “Ayah bejad ” pantas dihukum mati, sementara pelakunya merasa ” merasa menyesal ” akibat kehilangan akal sehatnya.
Penguatan agama dan keimanan yang tegas tanpa kecuali, dapat menjadikan kekuatan iman pada diri seorang ayah untuk menghindari perbuatan yang jelas ditentang oleh agama namanya Asusila.
Tontonan tersangka terpidana kasus asusila ibarat selebritas karbitan. Memuakkan berdalih hilap dan merasa menyesal atas perbuatanya. Terpidana kasus asusila paling berat dihukum lima belas tahun dipenjara adanya sosok ayah dan teladan bisa dihitung jari.
Dalam konteks di atas dunia yang semakin modern, digitalisasi, dan materialistis hanyalah duniawi sesaat mempengaruhi terjadinya kemerosotan moral anak manusia. Tak perlu ada yang disalahkan, kecuali tekad kita membentengi diri dari kekuatan iman sehingga etika dan moral mampu mengontrol nafsu kebinatangan.
Ketika tak ada rasa bersalah dan rasa malu, apalagi menyesal, melakukan tindakan asusila, apalagi pelakunya ayah kandung sendiri perlu kita akui moral manusia sedang mengalami kemerosotan moral akut.
Penegakan hukum dan upaya pendidikan agama, moral perlu mendapat perhatian semua pihak, penanaman Akhlakul Karimah sejak dini bisa dijadikan dalam membentengi diri dari kejahatan asusila merupakan kejahatan luar biasa, yang merusak.
Pendidikan agama dan akhlak kian mulai pudar digilas era zaman serba modern belakangan ini, membuat manusia lupa diri akan tanggung jawab sekaligus tempat berlindung anak dan keluarga.
Kalau kejahatan asusila terbiarkan dan dianggap sebagai hal biasa, kita “berdosa” menanamkan benih dan pupuk generasi tak bermoral yang berlapis-lapis.
Kehadiran agama sebagai kekuatan spiritual harus dibangun kembali melalui pendidikan agama sejak dini untuk mampu membentengi diri atas kemerosotan moral dan akhlak agar tidak ada lagi Sulaiman- Sulaiman yang lain.