Oleh : Emrus Sihombing
Komunikolog Indonesia
Ada rujukan final yang normatif menyelesaikan polemik alih status pegawai KPK menjadi ASN. Sesuai UU Nomor 19 tahun 2019 pasal 1 butir 6 disebutkan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara.
Dengan demikian, semua pegawai KPK harus berstatus ASN. Jika bukan ASN, maka tugas yang dilakukan tidak memenuhi azas legalitas.
Mereka yang tidak atau belum ASN, secara otomatis melepaskan semua tugas dan tanggungjawabnya. Tugas tersebut dilanjutkan oleh pegawai KPK ASN melalui mekanisme semua petaturan yang berlaku di institusi KPK itu sendiri.
Jadi, pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi ASN, sudah tidak bisa melaksanakan tugasnya seperti sediakala. Mereka bisa saja mengundurkan diri secara ksatria. Sebab, pegawai KPK harus ASN. Oleh karena itu, pegawai TMS tidak bisa jadi ASN. Sementara, hanya ASN menjadi pegawai KPK.
Terkait hal tersebut, ada dua solusi utama yang bisa ditawarkan untuk penyelesaian. Pertama, jalur PUTN. Di sanalah mereka memperjuangkan yang menurut mereka sebagai hak yang belum atau tidak terakomodasi dalam proses pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK). Jalur ini lebih solutif, konstruktif, definitif dan terjadi dialektika kesetaraan di ruang sidang. Perdebatan akademik dan hukum terjadi di ruang sidang secara terbuka dan demokratis.
Sebagai lembaga hukum, apapun keputusan hakim, yang bisa saja tetap ada yang tidak puas, harus dihormati semua para pihak. Sebab, negara hukum dan demokrasi, proses tahapan hukum menjadi jalan keluar dari persolan para pihak yang terkait.
Kedua, diperlukan uluran tangan dari kementerian, utamanya kementerian BUMN untuk menyerap pegawai yang TMS menjadi tenaga kerja dengan perjanjian kontrak. Mereka bisa ditempatkan di unit inspektorat untuk merencanakan dan melakukan tugas pencegahan korupsi. Pengalaman mereka belasan tahun atau lebih di KPK selama ini, sangat mumpuni melakukan pencegahan korupsi.