Jakarta – Sebanyak 19 warga negara menggugat Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait permasalahan pinjaman online (pinjol).
Gugatan warga negara atau citizen law suit itu telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (12/11/2021) dan terdaftar dengan nomor perkara 689/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst, seperti yang dikutip media ini dari Kompas. com.
Selain Presiden Jokowi, warga juga menggugat sejumlah pejabat lain yakni Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate, serta Ketua Dewan komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
Dalam gugatannya, 19 warga meminta majelis hakim menjatuhkan putusan provisi agar pemerintah menghentikan sementara operasional seluruh perusahaan pinjaman online.
“Memerintahkan kepada para tergugat untuk menghentikan sementara seluruh penyelenggaraan pinjaman online di Indonesia selama gugatan ini berlangsung,” demikian bunyi petitum gugatan seperti dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jakarta Pusat, Senin kemarin.
Warga meminta pemberhentian sementara itu dilakukan sampai majelis hakim telah mengambil putusan yang berkekuatan hukum tetap terkait permasalahan pinjol.
Selanjutnya, pemerintah dituntut agar menerbitkan regulasi terkait penyelenggaraan pinjaman online yang komprehensif dan menjawab seluruh permasalahan di tengah masyarakat dengan memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara, khususnya hak atas privasi dan hak atas rasa aman.
Kaum disabilitas terjerat pinjol
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Muharyati adalah satu dari 19 warga yang menjadi penggugat.
Ia tergerak untuk menggugat pemerintah karena melihat banyaknya penyandang disabilitas yang harus ikut terjerat dengan pinjaman online.
“Banyak kelompok kami para penyandang disabilitas mental yang bahkan sampai ingin bunuh diri karena terjerat pinjol,” kata Murhayati saat dihubungi Kompas.com, kemarin.
Muharyati mengatakan, selama ini para penyandang disabilitas memang sulit mendapatkan pinjaman uang dari bank karena kebanyakan bekerja di sektor informal.
Karena itu, setelah aplikasi aplikasi merebak, banyak rekannya yang memanfaatkan kemudahan dari aplikasi tersebut. Dengan syarat foto diri dan KTP, pinjaman uang sudah bisa didapat.
“Kebanyakan mereka meminjam untuk modal usaha. Ada juga yang baru dipecat di masa pandemi ini dan akhirnya pinjam untuk buka modal usaha,” katanya.
Namun kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan pinjaman online itu justru menjadi petaka. Bunga yang dibebankan begitu besar sehingga tagihan membengkak.
Para penyandang disabilitas yang meminjam uang dari aplikasi pinjol itu pun tak mampu lagi membayar utang mereka.
“Bahkan banyak yang usahanya bangkrut akibat terjerat pinjol,” ujarnya.
Saat tidak bisa membayar utang tersebut, para penyandang disabilitas itu pun mendapatkan teror dari debt colector atau penagih utang. Bahkan teror itu juga menyasar ke orang-orang terdekat si peminjam yang didaftarkan sebagai penjamin.
“Nomor saya juga dijadikan penjamin. Saya diteror dengan kata-kata kotor,” kata Muharyanti.
Atas kondisi tersebut, Muharyanti pun tergerak untuk mengajak warga korban pinjol mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia menilai, negara telah lalai sehingga pinjol merajalela hingga sampai menjerat kaum disabilitas.
“Kami minta itu digulunglah pinjol-pinjol itu baik yang legal atau pun ilegal. Kan ada yang kedoknya koperasi ternyata begitu. Kok malah melegalkan perbankan liar yang menjerat warga,” kata dia.
Ketua serikat buruh ikut menggugat
Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, juga menjadi satu dari 19 warga yang ikut menggugat pemerintah.
Meski tak pernah menjadi korban langsung dari perusahaan pinjol, namun Nining tergerak untuk mengajukan gugatan. Sebab, banyak buruh baik di dalam maupun di luar organisasinya yang sudah menjadi korban pinjol.
“Karena saya ketua serikat buruh, saya banyak berinteraksi dengan masyarakat kaum buruh. Di situasi ekonomi yang semakin sulit ini, mau tidak mau mereka mengambil pilihan menyelamatkan ekonomi sesaat dan akhirnya terjerat pinjol,” kata Nining saat dihubungi Kompas.com, Senin.
Nining mengatakan, para buruh yang terjerat pinjol itu kebanyakan adalah mereka yang belum berstatus karyawan tetap. Gaji mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga.
Namun di sisi lain, mereka juga kesulitan meminjam uang ke bank dan akhirnya memutuskan untuk nekat menggunakan pinjol.
“Tapi pinjol ini bukannya menolong orang dalam kesulitan tapi malah memberikan beban kepada masyarakat yang terkena tekanan ekonomi. Saya melihat perilaku pinjol yang keluar batas,” kata Nining.
Nining menyebut, sudah banyak buruh yang mengalami depresi karena diteror setelah tidak bisa melunasi pinjaman karena bunganya yang sangat besar. Bahkan, kata dia, banyak juga buruh perempuan yang akhirnya dilecehkan pihak perusahaan pinjol.
“Ini saya dapat cerita langsung dari buruhnya. Jadi kalau peminjamnya perempuan dibuat grup seolah-olah peminjamnya ini menawarkan open bo (jasa prostitusi),” kata Nining.
Atas dasar itulah Nining tergerak untuk bersama-sama warga lainnya menggugat pemerintah. Ia menilai pemerintah telah lalai dalam membuat aturan yang melindungi konsumen atau pengguna aplikasi pinjaman online.
“Pemerintah hanya memberikan kebijakan bagaimana masyarakat bisa mudah mendapat pinjaman. Tapi negara tidak hadir dalam memberikan perlindungan kepada konsumen,” kata Nining.
11 masalah yang belum ada regulasinya
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendampingi 19 warga dalam mengajukan gugatan itu. Sejak awal organisasi nirlaba itu memang menaruh perhatian soal banyaknya korban pinjaman online.
LBH Jakarta sampai saat ini telah menerima 7.200 aduan masyarakat yang terlibat masalah dengan pinjaman online. Bahkan dalam kurun waktu tiga tahun, data LBH Jakarta menunjukan terdapat 6 sampai 7 orang bunuh diri karena terlibat masalah dengan pinjaman online.
Kuasa hukum warga dari LBH Jakarta, Jeanny Sirait, menilai pemerintah telah lalai dalam meregulasi pinjol. Ini karena minimnya regulasi yang dibuat negara untuk mengatur mekanisme penyelenggaraan pinjaman online.
Alpanya regulasi itu, dalam pandangan Jeanny menimbulkan berbagai masalah yang dialami masyarakat.
“Masalah itu mulai dari mekanisme pendaftaran yang tidak terverifikasi, bunga pinjaman yang sangat tinggi dan tanpa batasan, biaya administrasi tinggi yang kemudian membebani masyarakat, lalu juga permasalahan mekanisme penagihan yang dipenuhi dengan berbagai (unsur) tindak pidana,” kata Jeanny.
LBH Jakarta mencatat ada 11 masalah yang belum diatur secara komprehensif dalam regulasi pemerintah, yakni:
1.Kepastian izin pendaftaran sebagai syarat bagi aplikasi peer-to-peer lending atau pinjaman online dapat beroperasi di Indonesia. Hal ini harus dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan perusahaan layanan distribusi aplikasi digital
2.Sistem pengawasan perlindungan data pribadi yang terintegrasi dan mumpuni terhadap seluruh pengguna aplikasi pinjaman online dan masyarakat dalam praktik penyelenggaraan bisnis pinjaman online
3.Batasan pengambilan akses data pribadi hanya pada kamera, microphone dan location. Dalam hal terdapat akses di luar ketentuan tersebut, masyarakat pengguna aplikasi pinjaman online dapat menolak akses tanpa mempengaruhi kelayakan pengajuan pinjaman
4.Jaminan tidak adanya ketentuan baku dalam perjanjian elektronik
5.Larangan tegas dan sanksi terhadap penyebaran data pribadi seluruh pengguna aplikasi pinjaman online, baik oleh perusahaan penyelenggara aplikasi pinjaman online maupun pihak ke-3 yang bekerja sama perusahaan penyelenggara aplikasi pinjaman online.
6.Batasan biaya administrasi pinjaman yang didasarkan pada nilai yang wajar
7.Batasan bunga pinjaman sesuai dengan suku bunga yang dianjurkan (bunga moratoir)
8.Larangan tegas dan sanksi penagihan pinjaman yang dilakukan dengan tindak pidana, baik oleh perusahaan penyelenggara aplikasi pinjaman online maupun pihak ke-3 yang bekerja sama perusahaan penyelenggara aplikasi pinjaman online
9.Sistem pengawasan proses uji kelayakan pengajuan pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,sebelum perusahaan penyelenggara aplikasi pinjaman online menyepakati perjanjian pinjam meminjam
10.Mekanisme penyelesaian pengaduan dan sengketa konsumen
11.Sanksi pencabutan izin usaha bagi perusahaan penyelenggara aplikasi pinjaman online maupun pihak ke-3 yang bekerja sama dengan perusahaan aplikasi pinjaman online, jika terjadi pelanggaran perlindungan konsumen, pelanggaran hak atas privasi, pelanggaran hak atas rasa aman dan tindak pidana dalam proses