Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Perjalanan awal pasti berkeringat dan penuh tantangan. Ujian paling berat adalah menyemangati diri sendiri agar tetap berada pada jalan rakyat. Tak ada kehidupan yang berarti kalau belum merasakan keringat peluh dan pilu kehidupan masyarakat pesisir di Pulau – Pulau kecil. Rakyat yang kulitnya hitam legam, hidup dalam angkara panas, dingin, kering dan penuh pilu atas pelayanan.
Tetesan air mata, hati meleleh. Walaupun berusaha menahan tangis. Rasanya ingin keluarkan suara keras atas penderitaan rakyat Pulau Moyo. Kisah Sahabuddin Dusun Brangkua memotong jari tangannya karena gigitan ular yang lambat bawa ke rumah sakit. Faktor jauhnya Puskesmas, jalan setapak. Kisah Sabaria naik motor jalan setapak dari sebotok ke Labuhan Aji yang ditusuk kayu pelipis matanya. Kisah tenggelam nelayan nyambi ojek perahu penumpang yang kebalik ditengah laut.
Kisah ekstrem anak – anak sekolah Pulau Moyo pulang pergi tengah hujan, angin, gelap dan dentuman petir melewati hutan belantara Pulau Moyo. Kisah petani Wijen dan padi yang menjual murah hasil panennya karena minimnya akses internet dan informasi. Kisah para aktor bom – bom ikan yang terpotong tangannya akibat bom. Kisah para pembajak terumbu karang tanpa ampun. Kisah para agen asing hingga pejabat yang memborong tanah Pulau Moyo.
Kisah para rentenir pemeras rakyat lewat tambat labuh perahu, rentenir wisata tanpa karcis, tak ada aturan. Pulau Satonda penarikan karcis semau gue, parkir perahu ojek 300ribu dan tiket masuk 200ribu. Konon, retribusi ini masuk Kabupaten Sumbawa. Khawatirnya masuk kantong pejabat. Belum ada aturan retribusi dermaga kecil di Pulau Moyo dan Pulau Satonda. Penarikan bebas.
Selain itu, penataan pariwisata tidak berkembang. Sampah memenuhi pesisir Pulau Moyo dan Pulau Satonda. Kalau Pulau Medang agak bersih. Belum ada komitmen zero waste pemerintah untuk ikut serta bersikap gotong royong ajak masyarakat mencegah menumpuknya sampah pesisir Pulau Moyo.
Jalan setapak yang dilalui masyarakat Pulau Moyo sudah menjadi lumrah. Mayoritas penduduk berpendapat: mestinya ukuran keberhasilan pemerintah adalah perbaiki infrastruktur jalan, mendekatkan pelayanan rumah sakit. Menjamin kesehatan masyarakat. Mencegah penyakit malaria. Perbaiki sanitasi air bersih dan MCK dapat di fasilitasi dengan baik.
Konon, 90% (sembilan puluh persen) pemilik lahan dikuasai para pejabat, asing dan lokal sebesar 10% (sepuluh persen). Dimanakah regulasi pemerintah mengatur investasi ilegal hotel, homestay dan geshoust di Pulau Moyo. Tambah masyarakat Pulau Moyo bernafsu ingin memiliki mobil, L300 Mitsubishi, dan sepeda motor trail hingga harus menjual atau menukar tanah sejumlah 4 hektar ukuran nilai 50juta rupiah. Sangat banyak masyarakat gaya model seperti ini. Mudah menukarkan hektaran tanah dengan barang – barang yang hanya bertahan 10 tahun. Padahal infrastruktur Pulau Moyo belum bagus dan tidak mendukung kendaraan mobil.
Ketika, agenda silaturahmi dan kunjungan keberbagai etnis dan keluarga masyarakat Selayar, Bugis, Bima dan Sumbawa di Pulau Moyo, Pulau Satonda, Karombo, Pulau Medang dan Calabai, sesuatu yang sangat luar biasa. Dialog masyarakat Pulau Moyo, Pulau Medang, Pulau Satonda Kab. Sumbawa, Desa Karombo dan Calabai Kec. Pekat Kab. Dompu. Masyarakat meminta perjuangkan usulan agar pulau – pulau kecil dalam Pulau Sumbawa bisa disatukan dalam satu daerah otonomi baru bernama Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai (Pulau: Moyo, Satonda, Medang, Karombo, Calabai) sebagai Kabupaten Baru untuk di usulkan kepada pemerintah pusat.
Pulau Moyo Samakai ini, tergolong tertinggal dari sisi distribusi hasil pertanian, nelayan, pariwisata, infrastruktur, pelayanan kesehatan, rumah sakit, hingga lingkungan. Maka usulan pembentukan Kepulauan Moyo Samakai (KMS) merupakan tuntutan dalam upaya bangkit dan mendekatkan pelayanan. Upaya itu sebuah usulan serius dilakukan masyarakat setempat untuk bisa setara dengan daerah pesisir lainnya.
Untuk perbaiki sistem: pemerintahan yang ideal, harus diusulkan dan menjadi isu utama pemekaran kabupaten baru. Apalagi, sejarah Kepulauan Moyo Samakai sudah terkenal mentereng seantaro dunia sehingga sudah seharusnya dimekarkan. Usulan dan perencanaan pemekaran Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai akan menjadi motivasi untuk memacu pembangunan sehingga perubahan dan kemajuan akan terasa dimasa akan datang.
Harapan memisahkan diri dari Kabupaten Induk, masyarakat bisa rasakan adanya perubahan. Jadi, sudah saatnya Kepulauan Moyo Samakai melangkah lebih jauh untuk diperjuangkan. Masyarakat harus semua bergerak menuju Kepulauan Moyo Samakai maju dan unggul dari berbagai kabupaten Kepulauan lain di Indonesia. Wacana masyarakat muncul beberapa hari ini, sejak 4 April 2022. Setelah hadiri acara dialog dan silaturahmi diberbagai pulau – pulau kecil. Tentu, bukanlah hal yang tidak mungkin. Bagi, Kepulauan Moyo Samakai (KMS) sudah layak dimekarkan menjadi satu Kabupaten.
Kendati demikian, semua untuk pemekaran itu harus direncanakan dengan matang dari segi pembangunan infrastruktur, SDM, ekonomi, pendidikan, maupun lainnya untuk bisa mendukung kemajuan Kepulauan Moyo Samakai (KMS) ke depannya. Persoalan sinkronisasi sosial budaya dan perkembangan pembangunan ke depan bukan sesuatu yang sulit. Ketika semua masyarakat bersatu padu, semua persolan itu tidak akan sulit.
Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai (KMS) yang akan di usulkan menggabungkan beberapa Desa dan Pulau kecil seperti Desa Labuhan Aji dan Desa Sebotok berada dalam kawasan Pulau Moyo sendiri. Lalu, Pulau Medang terdiri dari dua desa yakni Medang Bugis dan Medang Bajo. Kemudian disusul Pulau Satonda, Pegunungan Desa Karombo dan Desa Calabai Kec. Pekat Kab. Dompu.
Penyatuan desa dan pulau tersebut, harus ada kesepakatan bersama dan dibentuknya panitia yang terdiri tokoh masyarakat terdiri dari tokoh agama, dan tokoh pemuda. Selama ini, kalau dari Sumbawa ke Pulau Moyo hanya berjarak waktu tempuh 3 – 4 Jam dengan kendaraan kapal penumpang. Kemudian Aibari Sumbawa ke Pulau Moyo berjarak 30 menit perjalanan dengan kapal ojek. Dari Calabai ke Pulau Moyo jarak tempuh 25 menit. Kalau dari Karombo Ke Pulau Moyo jaraknya 20 menit. Kemudian, Pulau Moyo menuju Pulau Danau Satonda berjarak 45 menit. Lalu, dari Labuhan Aji keliling Pulau Moyo jarak tempuhnya 1 hari penuh. Kemudian, dari Labuhan Aji menuju Pulau Satonda berjarak 1 jam. Kalau dari Dusun Patedong dan Dusun Rasa Bou Desa Sebotok menuju Pulau Satonda berjarak 15 menit perjalanan. Kalau dari Tanjung Pasir ke Pulau Satonda maupun Karombo jarak tempuh 20 menit.
Lagi pula, Pulau Moyo perlu ditetapkan dan diusulkan program percepatan pembangunan. Karena ukuran keberhasilan pembangunan dilakukan pemerintah titik fokus ada di Pulau Moyo. Mengapa? kondisi infrastruktur, kesehatan, lingkungan, sanitasi, MCK, transportasi hingga penanggulangan kemiskinan perlu gerak cepat. Ditambah, pulau – pulau kecil yang masih kehidupannya terbelakang. Terutama akses pelabuhan, Tempat Pelelangan Ikan serta pengawasan potensi perikanan yang melimpah.
Pimpinan daerah seperti bupati Dompu, Bupati Bima, Bupati Sumbawa dan Gubernur NTB bersama pimpinan serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar dapat pertimbangkan usulan pemekaran Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai (KMS). Dibanding memaksakan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS). Kalau komitmen pimpinan daerah terhadap pemekaran Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai (KMS), maka itulah bentuk keberpihakan kepada masyarakat pesisir dan desa – desa terisolir.
Pulau-pulau kecil seperti Pulau Medang, Pulau Moyo, Pulau Satonda, Karombo dan Calabai memiliki karakteristik yang unik, dengan sumberdaya alam dan lahan yang sangat luas, terisolasi, rentan dan skala ekonomi yang terbatas. Meskipun demikian, pulau kecil ini, memiliki potensi yang besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi; ekosistem terumbu karang, ekosistem lamun, ekosistem mangrove, pantai, perikanan dan spesies endemic dan dilindung.
Potensi tersebut yang membuat pembangunan pulau-pulau kecil tersebut, banyak diarahkan menjadi destinasi wisata. Tetapi, banyak pula pembangunan yang tidak terkontrol dan tidak terkelola dengan baik. Maka upaya ide dan gagasan pemekaran Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai (KKMS) bentuk pertimbangan integrasi antara darat dan laut.
Pada banyak kasus pulau wisata seperti Pulau Moyo, Pulau Medang dan Pulau Satonda, pembangunan belum maksimal fokus pada aspek sosial, infrastruktur fisik dan sarana prasarana penunjang. Terkadang lebih dominan tidak dilirik dengan berbagai alasan. Padahal, potensi penerimaan pendapatan daerah dari pulau kecil tersebut, sebesar 30 persen dari jumlah APBD Sumbawa, Dompu dan Bima.
Mestinya, pemerintah maksimalkan pembangunan segala aspek sehingga pemanfaatan Sumber daya lebih meningkat. Seiring menyeimbangkan kualitas ekologi, lingkungan, konsumsi sumberdaya maupun konversi lahan. Nantinya, Kabupaten Kepulauan Moyo Samakai (KMS) pembangunan berbasis pada ekologi menjadi domain utama sehingga adanya peningkatan kualitas lingkungan.
Perubahan iklim dan pemanasan global pengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir Pulau Moyo, Pulau Medang dan Pulau Satonda. Maka pengembangan infrastruktur kepulauan baik itu sarana dan prasarana memiliki peran penting yang sesuai kebutuhan sehingga dapat mendukung segala kegiatan sosial ekonomi masyarakat pulau, namun pengembangan Pulau Moyo, Pulau Medang dan Pulau Satonda saat ini tidak mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan.
Ada beberapa aspek yang perlu dikembangkan pada Pulau Moyo, Pulau Medang dan Pulau Satonda, yakni aspek sosial: kepadatan populasi warga, peluang akses publik terhadap pantai dan partisipasi publik. Sementara aspek ekonomi: lapangan kerja, akses pasar dan harga barang sedangkan dalam aspek infrastruktur: ketersediaan jalur dan angkutan laut, ketersediaan pelayanan kesehatan, pengelolaan sampah dan MCK serta ketersediaan air bersih.(*)