Bagian III:
Visi Misi AMIN: Kesejahteraan Nelayan, Pemberian Bantuan Alat Tangkap Ikan dan Peralatan Melaut
Penulis: Rusdianto Samawa, Fourbes Indonesia, Menulis dari Kantor FOURBES Fatmawati Cipete Raya, Cilandak Jakarta Selatan
_____________________,
Pasangan AMIN perlu melakukan riset nelayan yang menggunakan berbagai alat tangkap. Perlu diketahui, ada lima item atau hal yang perlu diteliti dan riset sebelum pengambilan kebijakan yakni: pertama, tentang alat tangkap nelayan. Hal – hal yang perlu diketahui adalah: 1) validasi jumlah populasi nelayan; 2) nama dan jumlah pemakaian alat tangkap; 3) paguyuban nelayan; 4) permodalan; 5) safety emergency;
Kedua, Peralatan Melaut nelayan, berupa 1) mesin kapal; 2) kapal; 3) safety emergency seperti pelampung; 4) VMS (Vessel Monitoring system); 5) coldstorage; 6) suku cadang peralatan;
Ketiga, jumlah pekerja per kapal perlu dilakukan riset agar bisa mengukur produktifitas dengan pola penangkapan ikan. Keempat, identifikasi alat tangkap yang ramah lingkungan dan pertimbangkan alat tangkap tak ramah untuk disiapkan mitigasi (emergency). Kelima, penyamarataan alat tangkap berdasarkan basis nelayan untuk memudahkan distribusi. Tentu harus memiliki paguyuban dan koperasi.
Mengapa Pasangan AMIN perlu pertimbangkan beberapa hal diatas, karena problemnya tak mudah mengganti alat tangkap nelayan yang sesuai dengan kondisi laut, geografis dan keahlian nelayan itu sendiri.
Di Indonesia sendiri, ada banyak macam alat tangkap nelayan (baca: daftar alat tangkap resmi pemerintah). Masalahnya, doktrin lingkungan dan alat tangkap ramah lingkungan membuat banyak nelayan tereliminasi karena dianggap alat tangkapnya tak ramah lingkungan.
Pada tahun 2015 – 2019 bahkan hingga sekarang, pelarangan alat tangkap itu menjadi paradigma doktrin lingkungan sebagai konsep blue ekonomi pada sektor kelautan – perikanan.
Maka, pasangan AMIN kedepan, agar tak salah mengambil kebijakan harus lakukan kelima tahapan diatas untuk mengetahui alat tangkap dan model peralatan yang dipakai nelayan sebelum memberi bantuan tersebut.
Data Front Nelayan Indonesia (FNI) ada sekitar 208 cabang jenis alat tangkap. Sementara jumlah pemakaian alat tangkap jutaan jenis, baik kecil maupun besar. Penggunaan alat tangkap nelayan berdasarkan kelas: atas (bigsize fishing), menengah (fishing medium), dan bawah (lokal fishing). Kategori alat tangkap ini, yang perlu dibantu adalah Lokal Fishing.
Problemnya, pemerintah tak sepenuhnya pahami, bahwa pengunaan alat tangkap harus sesuai dengan kapalnya. Misalnya alat tangkap pancing Rawai, maka desain bentuk kapalnya khusus. Begitu juga, Gilnet alat tangkap nelayan tradisional, model kapalnya harus sesuai juga. Kalau alat tangkap tak sesuai kapal. Maka dipastikan tak bisa mendapatkan hasil. Kapal yang tak sesuai alat tangkap, tak akan produktif dalam penangkapan ikan.
Kedepan, Pasangan AMIN harus perbaiki metode pemberian alat tangkap dan jenisnya. Misalnya, nelayan di Pulau Sumbawa menggunakan alat tangkap GilNets (jaring insang). Tetapi, di Banjarmasin Kalimantan atau Sulawesi Selatan mayoritas menggunakan alat tangkap Purseinets (Jaring Hitam). Hal seperti ini harus diketahui sebelum kebijakan itu dilakukan.
Niat, pemberian bantuan alat tangkap ikan dan peralatan melaut sungguh mulia. Tetapi kemuliaan itu tak akan berfaedah, apabila tidak tepat sasaran. Pasangan AMIN harus belajar dari kebijakan sebelumnya yang secara serampangan memberi alat tangkap yang tak sesuai harapan nelayan sehingga banyak mangkrak.
Nelayan juga berpendapat, bahwa semua praktik penangkapan ikan yang tidak sesuai ketentuan baik tidak memiliki izin maupun praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan harus diawasi ketat sehingga nelayan dan pelaku usaha perikanan mematuhi ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Yang dipandang perlu dipertimbangkan, regulasi pengawasan harus akseleratif terhadap realitas sosial masyarakat pesisir. Pembagian bantuan alat tangkap dapat menaikkan produktifitas penangkapan ikan. Tentu, jelas harus sesuai sistem pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang baik sehingga percepat akselerasi pembangunan dan kesejahteraan nelayan. Bukan, sedikit-dikit melarang dan memenjarakan nelayan.
Kebijakan pengawasan itu, dapat mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir yang harus pertimbangkan kegiatan sosial ekonomi nelayan: Maka, penataan zona ekonomi perikanan tangkap harus terukur sehingga tidak ada potensi pelanggaran. Tentu, pembagian bantuan alat tangkap bagi nelayan adalah spiritnya untuk kesejahteraan.
Kebijakan evaluasi terhadap beberapa regulasi yang dianggap kontra produktif terhadap alat tangkap, nilai investasi, nilai ekonomi dan aktivitas kegiatan nelayan harus dilakukan. Karena perlu ada penyesuaian pengawasan yang dilakukan sehingga nelayan tidak mengalami disinformasi dan miskomunikasi.
Menurut Bryant dan Bailey (2001) bahwa kerusakan alam merupakan politicized environment. Artinya, bukan alat tangkap nelayan penyebabnya. Namun, persoalan lingkungan tak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi di mana masalah itu muncul sehingga nelayan tak bisa disalahkan dalam penggunaan alat tangkap. Jadi, kerusakan alam bukanlah masalah teknis penggunaan alat tangkap semata, melainkan tata kelola yang harus diselesaikan secara baik dan benar.
Seperti kata Goodwin (1990) dalam bukunya, bahwa nelayan kecil tidak mampu memengaruhi pasar dan kebijakan sehingga mereka terus akan menjadi korban dari kerusakan laut. Tentu nelayan-nelayan kecil kita tidak kuasa menghadapi tekanan kapal-kapal asing, baik di Natuna maupun Arafura, karena kehadiran mereka merupakan kepentingan para pihak sehingga menjadi masalah ekonomi-politik yang rumit
Tentu, Pasangan AMIN dalam visi misinya masalahkan berbagai kebijakan yang untungkan oligarki dengan pendekatan struktur kekuasaan. Pasangan AMIN ingin pemberian bantuan alat tangkap ikan dan peralatan melaut dapat meningkatkan produktifitas nelayan sehingga tidak lagi di posisikan sebagai subjek yang paling dirugikan.
Pasangan AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) memahami kehidupan nelayan yang sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, pengusaha perikanan bisa secara mudah mengalihkan wilayah tangkapnya, sementara nelayan kecil dengan modal yang terbatas tidak bisa berbuat apa-apa ketika sumber daya ikannya sudah habis. Maka, solusi yang harus di dorong adalah supporting alat tangkap ikan yang ramah lingkungan dan modern.(*)